SAHKAH MENIKAHI WANITA HASIL POLYGAMI YANG TIDAK DIKETAHUI ISTERI PERTAMA?

Assalamualaikum uztad,
Saya ada masalah uztad. sebentar lagi saya mau menikahi seorang wanita, namun ternyata wanita yang mau saya nikahi itu hasil hubungan poligami yang tidak diketahui oleh istri tua ayahnya. Dan saat ini ayahnya sudah meninggal dan sampai sekarang keluarga dari istri tua tidak mengetahui kalo ayahnya sebenarnya memiliki istri muda.

Pertanyaan saya uztad, apakah pernikahan ayahnya dengan istri mudanya syah? Jika tidak syah lantas bagaimana ketika saya menikahi anak dari istri mudanya hasil poligami tersebut? Apakah secara agama anak tersebut bukan anak dari ayahnya? Dan bagaimana tatacara saya menikahinya?

Terima kasih atas jawabannya uztad. wassalamualaikum


Wa’alaikum salam wr. wb.

Terima kasih, atas pertanyaan yang luar biasa ini. Alhamdulillah, saya haturkan selamat, semoga proses menuju pernikahan dan setelah pernikahannya dilancarkan, makin dimudahkan rizkinya, dan tentunya selalu dalam ridha, bimbingan dan lindungan Allah, amiiin.

Niat yang sangat mulia. Kehendak yang sangat luhur. Sah tidaknya pernikahan seseorang yang melakukan polygamy tidak ada kaitan dengan idzin isteri pertama. Artinya, sekalipun isteri pertama tidak mengetahui, maka pernikahan dengan isteri kedua tetap sah, selama memenuhi rukun-rukun pernikahan.

Dan yang termasuk rukun pernikahan menurut Jumhur ulama, khususnya madzhab Syafi’i, adalah adanya wali bagi perempuan, adanya kedua mempelai, adanya ijab qabul (shighat), dan adanya dua orang saksi. Dalam Madzhab Syafi’i dua orang saksi tersebut harus laki-laki. Hal ini sebagaimana disebutkana dalam buku-buku Fiqih Madzhab Syafi’i seperti dalam Raudhatut Thâlibîn karya Imam Nawawi, kitab Asnal Mathlab dan Fathul Wahhâb karya Syaikh Zakariya al-Anshari.

Sedangkan dalam Madzhab Hanafi, rukun pernikahan hanya satu yaitu Ijab dan Qabul. Dengan demikian, selama perkara-perkara tersebut ada dalam pernikahan, maka nikahnya sah, baik isteri pertama mengetahui ataupun tidak mengetahui. Misalnya dapat dilihat dalam Hasyiyah Ibnu Abidin atau Badâi’us Shanâi’, karya Imam al-Kâsânî.

Hanya, sekalipun izin isteri pertama bukan rukun atau yang menentukan sah tidaknya pernikahan, akan tetapi alangkah lebih baiknya jika suami minta izin terlebih dahulu atau memberitahukan niatnya itu kepada isteri pertama. Hal ini, demi kemaslahatan semua pihak, terutama anak-anak. Seringkali terjadi, dua pasang hendak menikah, namun tidak jadi karena baru diketahui bahwa keduanya itu saudara sebapak. Itulah, karena ayah tidak memberitahukan pernikahan keduanya itu.

Dengan demikian, pernikahan ayah calon isteri mas, sah secara agama, dan secara otomatis, putrinya pun adalah anak yang sah. Karena sah, tentu calon isteri mas adalah putri dari ayahnya. Jadi, saya tegaskan sekali lagi, apa yang Mas hadapi sekarang bukan masalah, akan tetapi sesuatu yang biasa, sebagaimana wanita-wanita yang lain.

Adapun cara menikah nanti, insya Allah seperti yang lainnya. Mas hanya mengucapkan qabul saja, misalnya Mas mengatakan: “Saya terima nikahnya putri Bapak atau cucu Bapak yang bernama…..dengan mas kawin seperangkat alat solat dan 10 gram emas dibayar kontan”.

Untuk wali nikah calon isteri Mas, berpindah kepada kakek isteri mas dari pihak ayahnya. Karena, wali pertama yaitu ayah sudah meninggal dunia. Jika kakeknya juga tidak ada, maka wali nya berpindah kepada saudara laki-laki calon isteri mas, baik kakak atau adiknya. Jika tidak ada juga, maka pindah kepada putra laki-laki dari saudara laki-laki tersebut (berarti keponakan calon isteri). Jika tidak ada juga, maka berpindah kepada paman dari pihak ayah. Jika tidak ada juga, maka pindah ke anak laki-laki dari paman tersebut. Demikian urutan wali perempuan menurut Madzhab Syafi’i.

Sedangkan urutan wali perempuan menurut Hanafiyyah, adalah sebagai berikut: semua anak laki-laki si wanita tersebut kemudian anak laki-laki dari anak laki-laki wanita tadi, kemudian bapak, kakek, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman kemudian anak laki-laki dari paman.

Sedangkan urutannya menurut Malikiyyah adalah: Anak laki-laki wanita tersebut, anak laki-laki dari anak laki-laki wanita tadi, bapak, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, kemudian kakek.

Dan menurut Hanabilah adalah: bapak, kakek, anak laki-laki wanita tersebut, anak laki-laki dari anak laki-laki wanita tadi, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman, kemudian anak laki-laki paman.

Mas ambil menurut Madzhab Syafi’i saja, sebagaimana yang umumnya berlaku di masyarakat Indonesia. Juga sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 21 ayat 1

Demikian semoga bermanfaat, dan saya ucapkan selamat, semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, rahmah dan barokah dunia akhirat, amiin. Selamat menikah.
Aep SD.

0 komentar:

Post a Comment