Dialog Iblis dengan Para Nabi

Dialog Iblis dengan Para Nabi

99 Kisah Penyegar Iman

Penulis: Aep Saepulloh Darusmanwiati, MA
ISBN:978-979-024-329-3
Ukuran: 13 x 20,5 cm
Halaman: 336/Bookpaper
Terbit: September 2012


Harga SC: Rp. 45.000,00
Diskon: 20%
Harga SC: Rp. 36.000,00








 

Apa yang terjadi bila iblis berdialog dengan nabi? Sudikah iblis menyatakan tobat, lalu beriman kembali kepada Allah? Atau justru iblis malah kian menjadi-jadi dan tetap berniat menggoda manusia hingga hari penghabisan? Tahukah Anda bagaimana Iblis membuka rahasia tentang trik menggoda kita dan siapa saja yang amat disukai di antara manusia? 

Dengan kisah-kisah ringan dalam buku ini, Ustadz Aep menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Berbagai kisah terangkai dari soal moral dan ibadah hingga ihwal alam gaib dan alam kubur.  Namun, bukan sembarang cerita. Cerita-cerita itu diambil dari kitab-kitab klasik lagi otoritatif (muktabarah). Tak lupa, penulis mencantumkan referensi untuk dijadikan bahan kajian selanjutnya. 

Dari segi bentuk, kisah-kisah ini sangat pas untuk kondisi kekinian kita yang serba-sibuk. Pendek-pendek namun sarat makna. Dengan cerita, kita mendapatkan asupan gizi spiritual yang bisa mendekatkan kita kepada Allah. Tak pelak, 99 kisah dalam buku ini bisa menjadi penyegar iman, dan membimbing kita meraih rida-Nya.     

Hati itu cenderung cepat bosan, maka lipurlah ia dengan kisah dan hikmah.  
Hati mudah kesat oleh maksiat maka lembutkan ia dengan nasihat.
—Ibnu Mas′ud

Keutamaan dan Amalan Sepuluh Hari Pertama Dzulhijjah



MENGGAPAI KEMULIAAN SEPULUH HARI PERTAMA
BULAN DZULHIJJAH
Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati

Menurut Ibnu Rajab dalam Lathâiful Ma’ârif, di antara sebab Allah melipatgandakan pahala ibadah seseorang adalah karena kemuliaan waktu melakukan ibadahnya (syarafuz zamân). Ibadah apapun yang dikerjakan pada waktu-waktu yang dimuliakan oleh Allah, maka ibadah tersebut menjadi istimewa; pahalanya dilipatgandakan, dan kedudukannya melebihi ibadah lainnya.

Di antara contoh waktu yang dimuliakan oleh Allah dimaksud adalah—selain bulan Ramadhan—sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Maksudnya adalah tanggal 01 sampai tanggal 10 dari bulan Dzulhijjah. Pada tahun ini, insya Allah bila tidak ada perubahan, tanggal 01 Dzulhijjah akan jatuh pada hari Rabu, tanggal 17 Oktober 2012, dan tanggal 09 Dzulhijjah (Arafah) akan jatuh pada hari Kamis, 25 Oktober, serta Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah) akan jatuh pada hari Jum’at, 26 Oktober 2012. Sekali lagi, jika tidak ada perubahan dari pemerintah Mesir, di mana penulis tinggal saat ini.

Lalu, apa saja keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini? Di antara keutamaannya adalah:

Pertama, dalam surat al-Fajr, Allah berfirman:
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2) وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ (3) وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ (4) هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ
Artinya: “Demi fajar. Dan demi malam yang sepuluh. Dan demi yang genap dan yang ganjil. Dan demi malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal” (QS. Al-Fajr [89]: 1-5).

Jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, seperti Ibnu Abbas, Ikrimah, Abdullah bin az-Zubair, Masruq bin al-Ajda’, Mujahid, ad-Dhahhak —sebagaimana disampaikan Imam at-Thabari dan Ibnu Katsir-- ketika menafsirkan ayat ‘dan demi malam yang sepuluh’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan malam yang sepuluh itu adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah.

Setelah menjelaskan pendapat-pendapat para ulama tentang maksud ‘malam yang sepuluh’ di atas, Imam at-Thabari mengatakan:
والصواب من القول في ذلك عندنا: أنها عشر الأضحى لإجماع الحجة من أهل التأويل عليه
Artinya: “Artinya: “Pendapat yang benar dalam masalah ini menurut kami, bahwa maksud ‘malam yang sepuluh’ itu adalah seepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Hal ini sesuai dengan Ijma para ulama tentang dalil akan hal itu”.

Demikian juga dengan Imam Ibnu Katsir. Setelah menjelaskan perbedaan pendapat para ulama seputar maksud ‘malam yang sepuluh’ di atas, beliau mengatakan:
والصحيح القول الأول؛ قال الإمام أحمد: .... عن جابر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن العشر عشر الأضحى))
Artinya: “Pendapat yang benar adalah pendapat pertama (yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah). Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits…..dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya hari sepuluh itu adalah sepuluh hari pertama al-Adha (Dzulhijjah)”.

Tidak semata-mata Allah bersumpah dengan sepuluh hari pertama Dzulhijjah dimaksud melainkan menunjukkan penting dan istimewanya hari-hari dimaksud. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya at-Tibyân fî Aqsâmil Qur’ân mengatakan:
وهو سبحانه يقسم بأمور على أمور، .... وإقسامه ببعض المخلوقات دليل على أنه من عظيم آياته
Artinya: “Allah swt bersumpah dengan beberapa makhlukNya….Dan sumpahnya Allah dengan sebagian makhlukNya menunjukkan bahwa makhluk yang disumpahinya itu termasuk di antara tanda kekuasaanNya yang agung, luar biasa”.

Kedua, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah termasuk waktu empat puluh malam di mana Allah bertemu dengan Nabi Musa as. Bahkan, ia merupakan sepuluh penutup dari empat puluh malam dimaksud.

Dalam surat al-A’raf Allah menjelaskan, bahwa Dia menjanjikan waktu selama empat puluh malam bertemu dengan Nabi Musa as, untuk menyampaikan ajaran Islam yang akan dibawanya berupa kitab Taurat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firmanNya di bawah ini:
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَة
Artinya: “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam” (QS. Al-A’raf [7]: 142).

Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa sebagian besar para ulama berpendapat, maksud tiga puluh hari pertama adalah bulan Dzul Qa’dah. Sedangkan maksud sepuluh hari lagi sebagai penutup adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Pendapat ini, menurut Ibnu Katsir, adalah pendapatnya Mujahid, Masruq, Ibnu Juraij, juga Ibnu Abbas.

Dengan demikian, lanjut Ibnu Katsir, waktu bertemunya Nabi Musa as dengan Allah berakhir tepat pada hari raya Idul Adha (tanggal 10 Dzul Hijjah) atau dalam sepuluh hari pertama bulan  Dzulhijjah. Dan pada hari itu juga, Allah menyempurnakan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, sebagaimana firmanNya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

Lagi-lagi, tidak semata-mata Allah memilih waktu-waktu tersebut untuk menyempurnakan ajaran Islam yang dibawa Nabi Musa as dan Nabi Muhammad saw, melainkan karena hari-hari dimaksud merupakan hari-hari sangat istimewa dan sangat dimuliakan.

Ketiga, sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah merupakan hari-hari yang paling dicintai oleh Allah untuk melakukan berbagai ibadah di dalamnya.

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: ((مَا الْعَمَلُ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلَ مِنَ الْعَمَلِ فِى هَذِهِ)). قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ قَالَ: ((وَلاَ الْجِهَادُ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَىْءٍ)) [رواه البخاري]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada amal ibadah yang lebih utama selain yang dikerjakan pada sepuluh hari ini (maksudnya sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya: “Apakah sekalipun jihad di jalan Allah?”. Rasulullah saw menjawab: “Sekalipun dari jihad. Kecuali seseorang yang keluar untuk berjihad dengan diri dan hartanya, lalu tidak ada sedikit pun yang pulang dari padanya” (HR. Bukhari).

Dalam hadits di atas, baginda Rasulullah saw menjelaskan bahwa apapun ibadah yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, ia adalah paling utama—dan dalam riwayat lain dari Imam Turmudzi: paling dicintai oleh Allah. Bahkan, pahalanya sangat besar, mengalahkan pahala jihad sekalipun. Hal ini, karena ibadah tersebut dilakukan pada waktu yang dimuliakan oleh Allah.

Setelah mengetengahkan hadits di atas, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam al-Lathâif mengatakan:
و إذا كان العمل في أيام العشر أفضل و أحب إلى الله من العمل في غيره من أيام السنة كلها، صار العمل فيه و إن كان مفضولا أفضل من العمل في غيره و إن كان فاضلا
Artinya: “Apabila amal shaleh yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari lainnya dalam seluruh tahun, maka amal shaleh apapun yang dikerjakan di dalamnya—sekalipun amal shaleh tersebut biasa—lebih utama dari amal-amal shaleh lainnya yang dikerjakan pada hari-hari lain, sekalipun amal shaleh tersebut utama”.

Dalam kesempatan lain, Ibnu Rajab juga berkata:
وهذا يدل على أن العمل المفضول في الوقت الفاضل يلتحق بالعمل الفاضل في غيره، و يزيد عليه لمضاعفة ثوابه و أجره
Artinya: “Ini menunjukkan bahwa amal shaleh biasa yang dilakukan pada waktu istimewa akan menyamai (pahala) amal shaleh utama yang dikerjakan pada hari-hari biasa. Bahkan, dilebihkan dengan dilipatgandakan pahala dan balasannya”

Keempat, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling utama (afdhal) dari seluruh hari-hari yang ada di dunia (afdhal ayyâm ad-dunyâ). 

Dalam sebuah hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bazzâr, Rasulullah saw pernah bersabda:
عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أفضل أيام الدنيا أيام العشر)) [رواه البزار، وصححه الألباني في صحيح الجامع برقم: 1133].
Artinya: “Jabir berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Seutama-utama hari-hari di dunia ini adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah” (HR. Imam al-Bazzâr, dan hadits ini dinilai Shahih oleh Syaikh Albany sebagaimana disebutkan dalam Shahîh al-Jâmi’ nya, nomor 1133). 

Bahkan, saking mulianya sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini, banyak ulama yang berpendapat, sebagaimana disampaikan Ibnu Katsir, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini lebih baik dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sekalipun. Hal ini karena dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terkumpul ibadah-ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan, mulai dari puasa, shalat, sedekah dan lainnya.

Sebagian pendapat lain mengatakan, sepuluh terakhir bulan Ramadhan lebih utama, karena di dalamnya ada Lailatul Qadar.

Sementera ulama lainnya mencoba menggabungkan dua pendapat di atas dengan mengatakan, apabila siang harinya, maka sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama. Namun, jika malam hari nya, maka sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih istimewa.

Masih berkaitan dengan keutamaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah, Ka’ab pernah berkata:
اختار الله الزمان فأحب الزمان إلى الله الشهر الحرام، وأحب الأشهر الحرم إلى الله ذو الحجة، وأحب ذي الحجة إلى الله العشر الأول
Artinya: Imam Ka’ab berkata: “Allah telah memilih waktu-waktu tertentu. Waktu yang paling disukai oleh Allah adalah bulan-bulan haram. Dari empat bulan haram, bulan yang paling dicintai Allah adalah bulan Dzulhijjah. Dan dari bulan Dzulhijjah, yang paling dicintai Allah adalah sepuluh hari pertama dari bulan tersebut”.

Abu Utsman an-Nahdy, pernah mengatakan  bahwa para ulama salaf dahulu selalu mengagungkan tiga waktu  dari sepuluh hari. Ketiga waktu dimaksud adalah: sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama dari bulan Muharram”.

Dari tiga waktu sepuluh hari di atas, sebagian besar para ulama berpendapat bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih baik dari dua sepuluh hari lainnya.

Ibnu Nashiruddîn ad-Dimasyqî kemudian mengatakan: “Dari hadits-hadits nampak bahwa sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah lebih utama dari dua sepuluh hari lainnya. Karena di dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah berkumpul tiga hari istimewa, yaitu hari tarwiyyah (tangal 08 Dzulhijjah), hari ‘Arafah (tanggal 09 Dzulhijjah) dan hari raya Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah)”.

Demikian, di antara sebagian kecil dari segunung kemuliaan dan keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Lalu, apa amalan yang dapat dikerjakan di dalamnya? Apapun ibadah dan amal shaleh yang dikerjakan di dalamnya, pahalanya sangat istimewa dan luar biasa. Di antaranya adalah:

Pertama, Puasa sunnat sembilan hari (tanggal 01 sampai 09 Dzulhijjah)

Imam Nawawi dalam Syarahnya terhadap Shahih Muslim mengatakan:
هي مستحبة استحبابا شديدا لا سيما التاسع منها، وهو يوم عرفة، وقد سبقت الأحاديث في فضله
Artinya: “Puasa pada Sembilan hari bulan Dzulhijjah sangat dianjurkan (sunnah muakkakdah), terutama tanggal sembilannya, yaitu pada hari Arafah. Hal ini karena banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan-keutamaan dari hari-hari dimaksud”.

Setelah mengatakan demikian, Imam Nawawi lalu menukil hadits shahih riwayat Imam Bukhari yang menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dimaksud.

Lalu bagaimana dengan hadits dari Sayyidah Aisyah yang mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطّ [رواه مسلم]
Artinya: “Sayyidah Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah sedikit pun” (HR. Muslim).

Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas dalam kitabnya al-Minhâj, mengatakan:
وهذا مما يتأول فليس في صوم هذه التسعة كراهة، بل هي مستحبة استحبابا شديدا لا سيما التاسع منها، وهو يوم عرفة، وقد سبقت الأحاديث في فضله، وثبت في صحيح البخاري: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((ما من أيام العمل الصالح فيها أفضل منه في هذه " - يعني : العشر الأوائل من ذي الحجة - .فيتأول قولها: لم يصم العشر، أنه لم يصمه لعارض مرض أو سفر أو غيرهما، أو أنها لم تره صائما فيه، ولا يلزم عن ذلك عدم صيامه في نفس الأمر، ويدل على هذا التأويل حديث هنيدة بن خالد عن امرأته عن بعض أزواج النبي صلى الله عليه وسلم قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر: الاثنين من الشهر والخميس ورواه أبو داود وهذا لفظه وأحمد والنسائي.
Artinya: “Hadits di atas termasuk hadits yang dapat dita’wil. Berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah bukanlah sesuatu yang makruh, akan tetapi sunnah yang sangat ditekankan, terutama tanggal sembilan Dzulhijjahnya, yaitu hari Arafah. Telah disebutkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya. Bahkan dalam Shahih Bukhari juga disebutkan, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada hari-hari di mana amal shaleh yang dilakukan di dalamnya lebih utama, selain amal-amal shaleh yang dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah”.

Karena itu, perkataan Sayyidah Aisyah: ‘Rasulullah saw tidak pernah berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah’ ini perlu dita’wil / diartikan lain. Boleh jadi, beliau tidak berpuasa pada saat itu karena ada sebabnya, seperti sakit, bepergian atau sebab lainnya. Atau boleh jadi, karena Sayyidah Aisyah tidak pernah melihat beliau berpuasa  padanya. Namun ini tidak berarti bahwa beliau tidak berpuasa pada hari-hari dimaksud.

Tawil ini diperkuat dengan hadits Hunaidah binti Khalid  dari isteirnya, dari sebagian isteri-isteri Rasulullah saw yang mengatakan bahwa Rasulullah saw senantiasa berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah, hari Asyura (tanggal 10 Muharram), tiga hari setiap bulan, dan puasa hari Senin dan Kamis setiap bulannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam  Abu Daud, Ahmad dan Nasai. Redaksi di atas berdasarkan riwayat Abu Daud”.

Hampir senada dengan apa yang disampaikan Imam Nawawi di atas, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam kitabnya Fathul Bâri mengatakan, bahwa dengan hadits riwayat Imam Bukhari tersebut menjadi dalil sunnatnya berpuasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini karena puasa masuk dalam kategori amal shaleh.

Ibnu Hajar juga kemudian mengatakan:
ولا يرد على ذلك ما رواه أبو داود وغيره عن عائشة قالت: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صائما العشر قط، لاحتمال أن يكون ذلك لكونه كان يترك العمل وهو يحب أن يعمله، خشية أن يفرض على أمته، كما رواه الصحيحان من حديث عائشة أيضا
Artinya: “Sunnatnya puasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah ini tidak bertentangan dengan hadits dari Sayyidah Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan lainnya yang mengatakan: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah sedikitipun”. Hal ini karena boleh jadi Rassulullah saw meninggalkan puasa tersebut padahal beliau menyukai untuk melakukannya, karena takut akan dipandang sebagai kewajiban kepada ummatnya. Hal ini sebagaimana juga terjadi dalam hadits Aisyah lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim”.

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal ketika menyikapi hadits Sayyidah Aisyah di atas, menurut penuturan Ibnu Rajab dalam Lathâiful Ma’ârifnya, menjawabnya dengan dua jawaban.

Jawaban pertama, hadits Sayyidah Aisyah ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Hafshah, isteri Rasulullah saw juga. Dalam hadits riwayat Hafshah disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan untuk berpuasa Asyura (10 Muharram), sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan berpuasa pada tiga hari setiap bulan”.

Imam Ahmad juga mengatakan bahwa sanad hadits Aisyah diperdebatkan. Imam al-A’masy meriwayatkannya sebagai Hadits Musnad, sementara Manshur meriwayatkannya dari Ibrahim dengan mursal.

Demikian juga para ulama lain menjawabnya, bahwa jika hadits Aisyah bertentangan dengan hadits Hafshah dalam nafyi (meniadakan) dan itsbat (menetapkan), maka ambil perkataan yang menetapkan. Hal ini karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh yang meniadakannya.

Maksudnya (perkataan penulis), dalam hadits Aisyah meniadakan (nafyi), bahwa Rasul tidak berpuasa pada sembilan hari pertama Dzulhijjah. Sedangkan hadits Hafshah menetapkan (itsbât), bahwa Rasulullah saw selalu menjalankannya. Maka yang diambil adalah yang menetapkan, yaitu hadits Hafshah, bahwa Rasulullah saw selalu melaksanakkan puasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah.

Jawaban kedua, menurut Imam Ahmad, bahwasannya maksud Sayyidah Aisyah adalah bahwa Rasulullah saw tidak berpuasa sembilan hari penuh. Sementara hadits Hafsah maksudnya bahwa Rasulullah saw umumnya selalu berpuasa pada hari-hari dimaksud. Karena itu, sebaiknya dalam puasa hari-hari ini, dianjurkan berpuasa sebagiannya dan berbuka pada sebagiannya yang lain.

Hanya saja, menurut Ibnu Rajab, jawaban kedua ini yang mencoba menggabungkan kedua hadits di atas, tidak relevan dan tidak pas.

Terlebih dari semua itu, yang jelas bahwa jumhur ulama memandang sunnah muakkadah berpuasa pada sembilan hari pertama di bulan Dzulhijjah ini.

Ibnu Abbas pernah berkata: “Puasa satu hari padanya, pahalanya sama dengan puasa selama satu tahun. Dan amal shaleh yang dikerjakan di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya 700 kali lipat”

Terlebih puasa Arafah, yaitu puasa tanggal 09 Dzulhijjah. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِى قَتَادَة قَالَ: قال رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((....صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ [رواه مسلم]
Artinya: “Abu Qatadah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “…Berpuasa Arafah (tanggal 09 Dzulhijjah) aku berharap pahala kepada Allah dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya, dan satu tahun setelahnya. Sedangkan puasa ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) aku berharap pahala kepada Allah, dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya” (HR. Muslim).

Imam Nawawi dalam kitabnya al-Minhâj, ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa dosa yang akan dihapuskan selama dua tahun tersebut adalah dosa-dosa kecil. Atau jika bukan dosa-dosa kecil, diharapkan dapat meringankan beban dan dosa-dosa besar. Jika bukan itu, maka maksudnya adalah derajatnya akan diangkat.

Kedua, berkurban bagi yang mampu.

Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((مَا عَمِلَ آدَمِىٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا)) [رواه الترمذي وابن ماجه والحاكم]
Artinya: “Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada perbuatan keturunan Adam pada hari raya Idul Adha yang paling dicintai oleh Allah, selain berkurban. Kelak hewan kurban itu akan datang dengan tanduknya, bulu-bulunya, juga kuku-kukunya (sebagai saksi kebaikan bagi yang melakukannya). Serta darah hewan kurban itu, akan jatuh di sebuah tempat terlebih dahulu (maksudnya akan diterima oleh Allah lebih dahulu) sebelum darah itu jatuh  ke atas tanah, sehingga hewan kurban itu memberikan banyak kebaikan kepada jiwa-jiwa yang melakukannya” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Hakim).

Juga hadits lainnya di bawah ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا)) [رواه ابن ماجه والحاكم]
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang mempunyai kelapangan rizki, namun ia tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).

Waktu yang paling baik untuk memotong hewan kurban menurut seluruh ulama empat madzhab adalah pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah selesai shalat ‘Id.

Selain itu, bagi yang berniat untuk berkurban, tidak diperbolehkan baginya memotong kuku, rambut, juga bulu-buluan yang ada pada tubuhnya sejak tanggal 01 Dzulhijjah, sampai hewan kurbannya itu dipotong. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
عن أُمّ سَلَمَةَ زَوْج النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قالت: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ)) [أخرجه مسلم]
Artinya: “Ummu Salamah, isteri Rasulullah saw berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang mempunyai hewan untuk dikurbankan, maka apabila hilal bulan Dzulhijjah telah masuk (maksudnya telah masuk tanggal 01 Dzhulhijjah), maka janganlah ia memotong rambut dan kuku-kukunya sampai ia memotong hewan kurbannya itu” (HR. Muslim).

Jumhur ulama berpendapat, larangan dimaksud hukumnya makruh, bukan haram (pembahasan lebih detail seputar kurban ini dapat dilihat dalam buku penulis berikutnya, insya Allah, yang berjudul: “Panduan Lengkap Fiqh Kurban (Udhiyyah): Tinjauan Empat Madzhab”.

Ketiga, memperbanyak membaca takbir (Allôhu akbar), tahlil (lâ ilâha illallôh), tahmîd  (alhamdulillâh) juga dzikir lainnya.

Kalimat takbir ini lebih ditekankan lagi untuk dibaca setiap kali selesai shalat wajib sebanyak tiga kali, sejak setelah shalat Shubuh dari hari Arafah (tanggal 09 Dzulhijjah) sampai setelah shalat Ashar pada tanggal 13 Dzulhijjah (akhir hari Tasyriq).

Bacaan takbir dimaksud adalah:
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
لا إله إلا الله، الله أكبر
الله أكبر ولله الحمد
Allôhu akbar, Allôhu akbar, Allôhu akbar.
Lâ ilâha illallôhu, Allôhu akbar
Allôhu akbar, walillâhil hamd
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.
Tidak ada Tuhan selain Allah. Allah Maha Besar.
Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi Allah”.

Ibnu Abbas berkata: “Tidak ada hari-hari yang mana amal shaleh yang dikerjakan di dalamnya paling  dicintai Allah, selain amal shaleh yang dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Karena itu, perbanyaklah membaca tahlil (lâ ilâha illallôh), takbir dan dzikir di dalamnya. Karena sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini adalah waktu untuk memperbanyak tahlil, takbir dan dzikir, menyebut nama Allah. Puasa satu hari padanya, pahalanya sama dengan puasa selama satu tahun. Dan amal shaleh yang dikerjakan di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya 700 kali lipat”

Keempat, melakukan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat tahajjud, sedekah, memperbanyak shalat sunnat baik rawatib maupun non rawatib, membaca al-Qur’an, membantu dan menolong sesama, juga amal-amal shaleh lainnya.

Dalam sebuah hadits yang oleh sebagian ulama dinilai sebagai Hadits Dhaif, disebutkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِى الْحِجَّةِ، يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ، وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْر)) [رواه الترمذي، وضعفه الشيخ الألباني في ضعيف الترمذي برقم: 758].
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada hari-hari yang paling dicintai oleh Allah untuk melakukan ibadah selain sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Puasa satu hari padanya, sama dengan pahala puasa selama satu tahun. Shalat malam setiap malamnya sama dengan pahala melakukan shalat pada Lailatul Qadar” (HR. Turmudzi, dan hadits ini dinilai sebagai Hadits Dhaif oleh Syaikh Albany).

Anas bin Malik bertutur: “Nilai satu hari dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini sama dengan seribu hari. Dan satu hari arafah (09 Dzulhijjah) pahalanya sama dengan sepuluh ribu hari lainnya”.

Hasan Bashri juga mengatakan: Puasa satu hari pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah sama dengan puasa selama dua bulan.

Demikian sekilas bahasan seputar keutamaan dan amalan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Semoga berguna dan bermanfaat, khususnya untuk penulis sendiri. Yang benar semua datang dari Allah dan RasulNya, sementara yang salah datang dari kebodohan penulis juga dari setan.

Bagi yang hendak men-share tulisan ini, kami persilahkan dengan sangat senang hati, dan jangan lupa doa terbaiknya dari seluruh pembaca di mana pun berada untuk penulis dan keluarga yang saat ini masih belajar di Universitas al-Azhar, Kairo.
Hatur nuhun, semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam bis shawâb.

Katamea, Kairo, Senin, 29 DzulQa’dah / 15 Oktober 2012
Aep Saepulloh Darusmanwiati
Email: aepmesir@yahoo.com

Pedihnya Sakaratul Maut Dapat Dikurangi Dengan Berbuat Baik Kepada Orang Tua


Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati

Sakaratul maut adalah di antara hal yang ditakuti oleh setiap orang. Pedihnya, lebih pedih dari pada ditebas pedang tajam seribu kali. Demikian sabda Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim. Semua orang, termasuk orang shaleh, akan merasakan sakitnya, sekalipun tentunya dengan tingkatan yang berbeda-beda.

Karena itu, tidak heran apabila semua orang takut kepadanya. Semua orang ingin lari dari padanya, sebagaimana firman Allah: “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya” (QS. Qaf [50]: 19)

Penjelasan Firman Allah Surat al-Fath [48] Ayat 13

Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati

Wa’alaikum salam wr. wb.
Ahlan Ibu Masykur, terima kasih atas pertanyaan luar biasa ini. Dalam menjelaskan ayat al-Qur’an, paling tidak ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu as-sibâq, as-siyâqdan al-lihâq. Tiga istilah ini saya terima dari guru saya, Syaikh Ibrahim al-Mâlî, dalam salah satu muhadharahnya di Mesjid al-Azhar, ketika memberikan talaqqi seputar Fiqh Maliki dan Ilmu Kalam.

As-Sibâq artinya kita perlu melihat dan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya. As-Siyâqmaksudnya, kita perlu memperhatikan siyâq atau alur kisah dari ayat dimaksud. Sedangkanal-lihâq maksudnya adalah kita juga perlu memperhatikan ayat-ayat setelahnya. Hal ini karena menurut para ahli tafsir, setiap ayat mempunyai keterkaitan erat dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.