HUKUM KB (KELUARGA BERENCANA) DALAM ISLAM

PERTANYAAN:
Assalam mu'alaikum wr wb,

Kang Aep Saepulloh & Teh Rina Yang dimuliakan Allah, semoga senantiasa dalam lindungan dan bimbingan Allah swt..

Terimakasih banyak atas waktunya bisa mengobrol kemarin malam di telpon....suaranya masih seperti yang dulu...merdu.

Kang Aep yang budiman, pada pengajian minggu lalu ada pertanyaan cara KB (Keluarga Berencana) yang dibolehkan menurut agama Islam itu yang bagaimana saja? Mohon penjelasannya....

Terima kasih sebelum dan sesudahnya
-Rayadi Inak, Athens, Greece-



JAWABAN:
Wa’alaikum salam. Wr. Wb.
Hatur nuhun Pak Rayadi, atas pertanyaan dari hadirin hadirat yang selalu disayang oleh Allah, insya Allah. Semoga Pak Rayadi sekeluarga selalu dalam kesehatan, juga dalam lindungan Allah, sehingga dakwah mulia di Athens dapat terus berjalan. Allah sangat memerlukan orang-orang seperti Bapak yang super luar biasa. Alhamdulillah. Salam saya juga untuk ibu-ibu pengajian di sana, semoga tetap semangat dan terus semangat. Agama kita ini, sangat kaya dengan ilmu dan hikmah, kita harus terus menggalinya. Sekali lagi hatur nuhun Pak Rayadi.

Sebelum saya menjawab persoalan KB di atas, perlu saya sampaikan terlebih dahulu tentang di antara maksud dan tujuan pernikahan dalam Islam.

Di antara maksud tujuan agama Islam (maqasih syari’ah) dari adanya pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan (littanasul) dan menghindari suami atau isteri jatuh kepada perbuatan zina.

Oleh karena itu, dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan ummatnya untuk menikahi wanita yang penyayang dan subur (untuk memperoleh keturunan).

Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Ahmad dari Anas bin Malik disebutkan seperti di bawah ini:


Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menikah, dan melarang dengan sangat keras untuk tidak menikah. Beliau kemudian bersabda: “Nikahilah oleh kalian (perempuan) yang penyayang dan subur untuk memperoleh keturunan, karena sesungguhnya saya kelak pada hari Kiamat adalah yang paling banyak ummatnya” (HR. Ahmad).

Bahkan, bukan hanya itu, dalam sebuah hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai, dari Ma’qal bin Yasar, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan seorang wanita dari keturunan yang sangat baik dan sangat cantik, akan tetapi dia mandul (tidak dapat hamil), apakah saya boleh menikahinya?” Rasulullah saw menjawab: “Nikahilah oleh kamu (perempuan) yang penyayang dan subur, karena aku kelak pada hari Kiamat yang paling banyak ummatnya”.

Hadits ini, tidak berarti menikahi yang tidak subur tidak boleh, akan tetapi sangat dianjurkan dan alangkah lebih baiknya apabila menikahi wanita-wanita subur yang dapat melahirkan dan menghasilkan keturunan.

Dari hadits-hadits di atas nampak bahwa di antara tujuan utama adanya pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan.

Dalam al-Qur’an, Allah juga mengecam mereka yang tidak mau memperoleh keturunan dengan alasan semata-mata karena takut miskin, rizki seret dan lain sebagainya. Hal ini karena sudah merupakan janji Allah bahwa, Allah yang akan memberikan rizki kepada anak-anak tersebut.

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS. Al-Isra: 31).

Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa semua makhluk di bumi ini, Allah yang memberikan rizkinya:

Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud: 6).

Dari keterangan-keterangan di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang tidak mau mempunyai anak dikarenakan semata-mata hanya karena takut miskin, takut tidak dapat memberikan makan, tidak dibenarkan. Karena dengan melakukan demikian, dinilai tidak meyakini dengan kekuasaan Allah.

Dari sini juga, barangkali kita dapat mengkategorikan praktek KB ini kepada dua bagian besar.
Pertama, melakukan program KB, dengan alasan takut tidak dapat memberikan makan, takut miskin dan lain sebagainya, maka praktek KB seperti ini tidak dibenarkan. Karena hal ini menyangkut keyakinan seorang muslim kepada Allah, bahwa Allah yang akan memberikan rizkinya.

Selain itu, sebagian besar ulama juga mentidakbolehkan seseorang yang melakukan praktek KB dengan jalan memasang alat yang mengakibatkan si wanita tidak dapat hamil selamanya (bukan sementara waktu), tanpa ada alasan syar’i yang dibenarkan, bukan karena demi kesehatan si ibu atau lainnya. Untuk jenis ini, praktek KB tidak diperbolehkan, karena tidak sesuai dengan di antara maksud utama pernikahan dalam Islam.

Kedua, praktek KB untuk mengatur saja, demi kesejahteraan si anak atau kesehatan si ibu. Misalnya, menurut dokter sebaiknya demi kesehatan si ibu, agar melahirkan lagi setelah dua atau tiga tahun ke depan, atau agar jarak antara putra yang satu dengan yang lain tidak terlalu dekat, atau dengan dasar agar pendidikan setiap anak dapat terpantau dengan baik, atau menurut dokter, kalau jaraknya terlalu dekat, akan mengakibatkan si anak kurang normal, atau kurang sehat, maka untuk jenis ini diperbolehkan, karena ada alasan syar’i dan praktek KB tersebut bukan untuk selamanya (sementara waktu saja).

Di antara dalil diperbolehkannya praktek KB untuk jenis kedua ini adalah hadits shahih riwayat Bukhari Muslim yang memperbolehkannya praktek ‘azl. ‘azl adalah menumpahkan sperma di luar vagina, dengan maksud di antaranya agar si isteri tidak hamil, baik demi alasan kesehatan si isteri atau lainnya. Praktek ‘azl ini berlaku umum di kalangan sahabat, dan Rasulullah saw tidak melarangnya. Ini artinya, bahwa praktek tersebut dibenarkan. Di antara dalil yang membolehkan praktek ‘azl ini adalah:

Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw dan pada waktu itu al-Qur’an masih turun” (HR. Bukhari Muslim).


Artinya: “Jabir berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw, lalu disampaikan hal itu kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak melarang kami” (HR. Muslim).

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin bab Adab Nikah mengatakan, bahwa para ulama dalam masalah boleh tidaknya ‘azl ini terbagi kepada empat pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa praktek ‘azl dengan cara apa saja diperbolehkan. Pendapat kedua, praktek ‘azl dengan cara dan maksud seperti apapun diharamkan. Pendapat ketiga, praktek ‘azl diperbolehkan, apabila ada idzin dari isteri, apabila tidak ada idzin, maka ‘azl tidak diperbolehkan. Keempat, praktek ‘azl diperbolehkan untuk budak-budak wanita, namun untuk isteri-isteri meredeka tidak dibenarkan.

Imam al-Ghazali kemudian menutup perbedaan di atas dengan mengatakan: “Menurut pendapat yang kuat dalam madzhab kami (madzhab Syafi’i), praktek ‘azl mubah (boleh-boleh saja)”.

Jumhur ulama mengambil pendapat bahwa, ‘azl diperbolehkan sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Bukhari Muslim di atas, selama ada idzin dari isteri.

Praktek KB pun dapat dianalogkan (dikiaskan) dengan praktek ‘azl ini, sehingga menurut sebagian besar ulama, praktek KB dengan maksud untuk mengatur keturunan (tanzhim an-nasl), dan bukan dalam artian tidak mau melahirkan selamanya (man’un nasl), diperbolehkan, sebagaimana proses ‘azl yang dilakukan para sahabat di atas.

Kemudian, apakah praktek KB jenis kedua, tidak berarti membunuh anak sebagaimana diharamkan dalam ayat 31 surat al-Isra? Tentu jawabannya tidak. Karena, praktek ‘azl atau KB jenis kedua ini, terjadi sebelum menjadi anak, terjadi proses kehamilan. Oleh karenanya tidak dikategorikan sebagai membunuh anak sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Wallaahu a’lam bis shawab. 
-Aep Saepulloh Darusmanwiati-

1 komentar:

Manajek said...

bagai mana hukum islam mengeluar kan onani suami dgn tangan atau mulut istri

Post a Comment