MAKSUD KATA ‘WALIYYAN’ DALAM SURAT AL-KAHFI DAN ‘RÛHIH’ DALAM SURAT AS-SAJDAH


Pertanyaan:

Kang Aep , mau tanya tafsir dari surat al-khafi ayat 17 dan surat as-sajdah ayat 9 , maksudnya apa yach ?


Maaf, oh iya  maksudnya surat al kahfi ayat 17 ada kata2 waliyyan mursyidan dan surat as-sajdah ayat 9 ada kata2 wa nafakho fihi min ruhih

'Ali Murtado'
Bogor




Jawaban:

Terima kasih Ustadz Ali Murtadha atas pertanyaan luar biasa ini. Menyangkut pertanyaan pertama maksud waliyyan dari surat al-Kahfi ayat 17, terlebih dahulu saya akan kutipkan firman Allah dalam ayat dimaksud:

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
Artinya: “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS. Al-Kahfi: 17).

Kata wali dalam bahasa arab, sebagaimana disampaikan oleh mufassirin, berarti penolong, pelindung (an-nâshir).

Dalam al-Qur’an, kata wali (penolong, pelindung) terkadang ditujukkan untuk Allah, seperti dalam firmanNya di bawah ini:

أم اتخذوا من دونه أولياء فالله هو الولي
Artinya: “Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah, dialah pelindung (yang sebenarnya)” (QS. Asy-Syûra: 9).

Terkadang juga untuk menyebut makhluk Allah, seperti dalam firmanNya di bawah ini:

مِنْ وَرَائِهِمْ جَهَنَّمُ وَلَا يُغْنِي عَنْهُمْ مَا كَسَبُوا شَيْئًا وَلَا مَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم
Artinya: “Di hadapan mereka neraka Jahannam dan tidak akan berguna bagi mereka sedikitpun apa yang Telah mereka kerjakan, dan tidak pula berguna apa yang mereka jadikan sebagai sembahan-sembahan / pelindung-pelindung (mereka) dari selain Allah. dan bagi mereka azab yang besar” (QS. Al-Jatsiyah: 10).

Sedangkan kata waliyyan dalam surat al-Kahfi ayat 17 yang ditanyakan di atas adalah penolong-penolong selain Allah. Dengan kata lain, maksud ayat di atas sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Thantawi dalam at-Tafsîr al-Wasîth nya: “Maksudnya: ‘Siapa yang diberikan petunjuk oleh Allah kepada jalan yang lurus, maka Allah akan membawanya kepada kebenaran, dan itulah yang disebut dengan orang yang mendapatkan petunjuk (al-muhtad). Yaitu, orang yang betul-betul mendapatkan keberuntungan yang sangat sempurna di dunia dan akhirat.

Sebaliknya, siapa yang disesatkan oleh Allah dari jalan yang lurus, maka kamu wahai Muhammad tidak akan menndapatkan satupun penolong yang dapat menolongnya, atau juga dia tidak akan mendapatkan satupun penunjuk yang membimbingnya ke jalan yang lurus”.

Demikian Kang Ali maksud dari kata waliyyan dari ayat 17 surat al-Kahfi. Wallâhu a’lam bis shawâb.


Maksud kata ‘rûhih’

Sedangkan menyangkut pertanyaan kedua, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya kita lihat ayat sebelumnya, agar pemahaman yang diambil dapat runtut. Dalam ayat sebelumnya Allah berfirman:

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ* ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ* ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ [السجدة: 7-9]
Artinya: “Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (QS. As-Sajdah: 7-9).

Ayat ini menceritakan proses penciptaan Nabi Adam as, sebagai manusia pertama, kemudian juga menjelaskan penciptaan keturunannya.

Seluruh mufassirin sepakat bahwa maksud dari kata ‘dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah’, adalah penciptaan Nabi Adam as. Artinya, bahwa Nabi Adam, Allah ciptakan dari tanah.

Kemudian pada ayat berikutnya Allah menjelaskan keturunan Nabi Adam (termasuk kita semua): ‘kemudian Allah menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina’. Dhamir ha dalam kata naslahû, menurut para ahli tafsir juga kembali kepada Adam as. Artinya, kemudiaan Allah menjadikan keturunan Nabi Adam dari sari pati air yang hina, yang maksudnya adalah air sperma.

Setelah itu Allah menjelaskan kembali: ‘lalu Allah menyempurnakannya’. Dhamir ha dalam kata tersebut menurut jumhur mufassirin—seperti Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhîm nya, juga ar-Râzî dalam Mafâtîhul Ghaibnya-- kembali kepada Adam. Demikian juga dhamir ha dalam kata fîhî, juga kembali kepada Adam.

Dengan demikian artinya adalah: Kemudian Allah menyempurnakan Adam juga meniupkan Ruh di dalam tubuhnya. Kata sawwâhu dalam ayat di atas, oleh sebagian ulama diartikan bahwa Adam as ketika diciptakan tidak mengalami proses seperti manusia dari bayi, anak kecil dan seterusnya. Akan tetapi ketika menciptakan Adam as, langsung dalam wujud orang sudah dewasa dengan bentuk yang sudah sempurna. Setelah itu, baru Allah meniupkan ruh milikNya atau ruh ciptaanNya di tubuh Adam.
Sedangkan menurut sebagian mufassirin yang lain, seperti Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya at-Tahrîr wat Tanwîr, mengatakan bahwa dhamir ha dalam kata sawwâhu kembali kepada keturunan (nasl), bukan kembali kepada Adam As. Hal ini menurut Thahir bin Asyur karena kata nasl lebih dekat kepada dhamir tersebut dari pada ke Adam.

Sedangkan menurut Syaikh Thanthawi, Syaikhul Azhar sebelumnya, dalam tafsirnya at-Tafsîr al-Wasîth, dhamir ha dalam kata  sawwâhu kembali kepada makhlukNya, baik yang diciptakan dari tanah langsung (Adam) ataupun yang diciptakan dari saripati air yang hina, air mani (keturunannya).

Menurut Thahir bin Asyur dan Syaikh Thantawi maksud sawwâhu adalah menyempurnakan bentuk manusia, menyesuaikan dan meluruskan anggota tubuhnya sehingga menjadi makhluk yang rupanya sangat bagus (dari air mani menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging dan seterusnya). Dan ini menurut al-Alusy dalam Rûhul Ma’ânî terjadi di dalam rahim. Atau menurut ar-Râzi dalam at-Tafsîr al-Kabîr nya, yaitu asalnya tanah, kemudian menjadi air mani, lalu berubah menjadi manusia. Setelah itu, Allah meniupkan ruh kepadanya. 

Jumhur mufassirin yang mengatakan bahwa  dhamir ha dalam kata sawwâhu juga dalam kata wa nafakho fîhî, adalah kembali kepada Nabi Adam, karena sesuai dengan ayat lainnya  tentang Nabi Adam, yaitu dalam surat al-Hijr ayat 29 dan Shad ayat 72 di bawah ini:

فإذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين
Artinya: “Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS. Al-Hijr: 29; Shad: 72).

Lalu Allah menjelaskan berikutnya: min rûhihi, dari ruh milikNya atau ciptaanNya. Dhamir ha pada kata rûhihi menurut para ahli tafsir kembali kepada Allah, artinya Allah meniupkan Ruh ciptaanNya kepada Adam (bagi para ahli tafsir yang memahami bahwa dhamir ha sebelumnya kembali kepada Adam as), atau Allah juga meniupkan RuhNya kepada keturunan Adam (bagi yang memahami dhamir ha’ sebelumnya kembali kepada nasl (keturunan Adam).

Maksud RuhNya dalam ayat di atas adalah ruh milikNya atau ruh ciptaanNya atau ruh yang berada dalam kekuasaanNya. Lalu mengapa kata ruh disandarkan dengan Allah (ruhNya)? Menurut Imam  al-Alusy dalam tafsirnya Rûhul Ma’ânî, penyandaran Allah dengan ruh ini sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan ruh itu sendiri (tasyrîfan lah). Sebagaimana dengan kata Baitullâh (rumah Allah), nâqotullâh (unta Allah), kata-kata ini sebagai bentuk pemuliaan kata yang disandarinya.

Dengan demikian, maka ruh adalah sesuatu yang diistimewakan oleh Allah, sebagaimana Ka’bah atau unta pada masa Nabi Shaleh. Ini juga, menurut Imam al-Alusi, sebagai syiar bahwasannya makhluk yang disandarkan nama Allah padanya, merupakan makhluk yang istimewa dan penciptaan yang sangat sempurna (khalqun ‘ajîb wa shan’un badî’).

Imam al-Alusy juga menukil pendapat lain seputar mengapa Allah menyandarkan DiriNya dengan ruh ini. Sebagian pendapat mengatakan ini sebagai pertanda bahwa keberadaan ruh ini merupakan di antara cara agar dapat lebih dekat mengetahui kekuasaan Allah sebagaimana perkataan Abu Bakar ar-Râzi: “Siapa yang mengenal dengan baik dirinya, maka dia telah mengenal Tuhannya”.

Sebagian pendapat lain mengatakan, ini sebagai majaz (kiasan) bahwa ruh itu bergantung dengan badan dan tidak berada di dalam badan. Pendapat lain, mengatakan dalam pengertian sebenarnya, dan yang menyambungkannya adalah malaikat yang ditugaskan di dalam rahim. Pendapat terakhir ini juga berpendapat bahwa ruh adalah tubuh yang sangat halus seperti udara yang bergerak di dalam tubuh, sebagaimana air yang mengalir pada bunga atau api yang bergerak dalam bara.

Masih berkaitan dengan ayat tersebut, Imam ar-Râzi dalam Mafâtîhul Ghaib nya mengatakan: dengan kalimat: ‘wanafakho fîhî min rûhih’ yakni dengan menyandarkan DiriNya dengan ruh ini, sekaligus membantah pendapat orang-orang Nashrani yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah Anak Allah, karena Allah menyandarkan ruhNya dengan Nabi Isa.

Mereka orang-orang Nashrani itu, lanjut Imam ar-Râzi, tidak sadar kalau semua ruh yang ada pada diri manusia adalah Ruh milik Allah juga, berdasarkan ayat di atas: ‘dan ia meniupkan padanya (pada makhluknya) dari ruhNya’. Yaitu ruh yang merupakan milikNya dan juga berada di bawah kekuasaanNya.

Dengan demikian, dari ‘ruhNya’ dimaksudkan adalah dari Ruh milik Allah atau dari Ruh ciptaan Allah atau dari Ruh yang berada dalam kekuasaanNya. Demikian, wallâhu a’lam bis shawâb
Aep Saepulloh D

0 komentar:

Post a Comment