Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saya berdoa semoga Ustadz diberi Allah kekuatan utk selalu istiqamah menjawab pertanyaan2 yang masuk, krn jawaban2 yang Ustadz berikan sungguh menjadi pencerahan bagi kami yang awam ini.
Saya ucapkan terimakasih kpd Ustadz yang telah menjawab pertanyaan saya beberapa waktu yg lalu. Skr ada pertanyaan lain yang ingin saya mohonkan jawabannya pada Ustadz:
1. Seseorang yg melakukan hubungan suami-istri di siang hari pd bulan Ramadhan dikenai kafarat berupa membebaskan 1 orang budak, berpuasa 2 bulan berturut2, atau memberi makan 60 orang miskin. Pertanyaan saya: Yang wajib membayar kafarat itu si suami saja atau dua-duanya (suami dan istri)? Kalau hanya si suami saja, apa alasannya Ustadz?
2. Seorang wanita sedang haidh. Setelah berjalan, misalnya 7 hari, haidhnya selesai. Dia tahu bahwa pada pukul 9 pagi dia sudah bersih dan tdk mengeluarkan darah haidh lagi. Pertanyaannya: Apakah dia harus segera mandi janabah saat itu juga ataukah menunggu hingga sore hari?
3. Masih terkait dengan pertanyaan nomor 2, kalau dia mandi janabah misalnya pukul 16.00, tentunya dia tidak melaksanakan shalat Dzuhur. Pertanyaannya: Apakah dia berdosa krn tidak shalat Dzuhur, padahal dia tahu bahwa pukul 9 dia sudah bersih, namun dia menunda2 waktu mandi janabahnya?
4. Terkait dengan pertanyaan nomor 3, kalau dia mandi pukul 16.00, Pertanyaannya: apakah dia wajib segera menunaikan shalat Ashar ataukah dia mulai shalat pada saat maghrib?
5. Menyentuh (maaf Ustadz) kemaluan membatalkan wudhu. Pertanyaannya: Kalau hanya menyentuh (maaf Ustdaz) rambut kemaluan, apakah juga membatalkan wudhu? Ada yang mengatakan, hanya menyentuh dengan telapak tangan yang membatalkan, kalau dengan yang lain tidak. Benarkah demikian Ustadz? Mhn penjelasan dalil2nya.
Hanya itu yang saat ini perlu saya tanyakan. Mhn maaf bila terlalu banyak. Saya berharap pencerahan dari Ustadz. Terimakasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Fathur Rabbani
Wa’alaikum salam wr.wb.
Terima kasih Mas Fathur Rabbani atas pertanyaan-pertanyaan luar biasa ini. Amiin, insya Allah dan terima kasih, jazaakumullah khairal jazaa.
Menyangkut pertanyaan pertama, betul sekali, hal ini didasarkan kepada hadits shahih di bawah ini:
عن أبي هريرة قال: بينما نحن جلوس عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ جاءه رجل, فقال: يا رسول الله, هلكت, قال: ((ما لك؟)), قال: وقعت على امرأتى وأنا صائم, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((هل تجد رقبة تعتقها؟)) قال: لا, قال: ((فهل تستطيع أن تصوم شهرين متتابعين؟)) قال: لا, قال: ((فهل تجد إطعام ستين مسكينا؟)) قال: لا, قال: فسكت النبي صلى الله عليه وسلم, فبينما نحن على ذلك أتى النبي صلى الله عليه وسلم بعرق فيها تمر, قال: ((أين السائل؟)) فقال: أنا, قال: ((خذ هذا فتصدق به)) فقال الرجل: على أفقر منى يا رسول الله؟ فو الله ما بين لابتيها أهل بيت أفقر من أهل بيتى, فضحك النبي صلى الله عليه وسلم حتى بدت أنيابه, ثم قال: ((أطعمه أهلك)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Abu Hurairah berkata: "Ketika kami duduk di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki berkata: "Ya Rasulullah, celaka" Rasulullah bertanya: "Memangnya apa yang menimpa anda?". Ia menjawab: "Saya melakukan hubungan badan dengan isteri padahal saya sedang berpuasa". Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu mampu untuk membebaskan seorang budak?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak". Rasulullah saw bertanya kembali: "Apakah kamu mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak". Rasulullah saw bertanya kembali: "Apakah kamu dapat memberi makan enam puluh orang miskin?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak". Rasulullah saw lalu terdiam sejenak. Tidak lama kemudian, Rasulullah saw membawakan sekeranjang kurma. Rasulullah saw bertanya kembali: "Mana orang yang bertanya tadi?" Laki-laki itu menjawab: "Saya di sini". Rasulullah saw bersabda kembali: "Bawa kurma ini dan sedekahkanlah". Laki-laki itu berkata kembali: "Kepada orang yang lebih miskin dari saya, Rasulullah? Demi Allah tidak ada keluarga yang paling miskin di antara dua ujung kota ini selain keluarga saya". Rasulullah saw tertawa sehingga tampak gigi serinya, kemudian bersabda: "Berikan kurma tersebut ke keluargamu" (HR. Bukhari Muslim).
Berdasarkan hadits ini, orang yang melakukan hubungan badan pada siang hari bulan Ramadhan, wajib membayar kafarat berupa membebaskan budak terlebih dahulu. Jika tidak mampu atau tidak ada, maka harus berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu, baru bersedekah kepada enam puluh orang fakir miskin. Urutan ini harus tertib seperti di atas; kafarat kedua baru dilakukan jika nomor satu tidak mampu dikerjakan. Demikian pendapat jumhur ulama.
Lalu apakah yang membayar kafarat tersebut suami saja atau suami dan isteri? Sebelumnya, perlu dipisahkan dua keadaan berikut ini:
Pertama, jika si wanita melakukan hubungan badan tersebut karena dipaksa atau lupa atau tidak mengetahui sama sekali hukum tidak bolehnya berhubungan badan pada siang hari di bulan Ramadhan, maka menurut sebagian para ulama puasa si wanita tersebut tetap sah, dan ia tidak wajib mengqadha ataupun membayar kafarat. Pendapat ini merupakan satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, juga pendapatnya Ibnu Taimiyyah, termasuk para ulama kontemporer saat ini seperti Syaikh Bin Baz atau juga Syaikh Ibn ‘Utsaimin.
Pendapat ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini:
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا.
Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Juga berdasarkan dua hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ)) [متفق عليه]
Artinya: “Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang sedang berpuasa lalu makan karena lupa, maka hendaknya ia meneruskan puasanya itu, karena hal itu berarti Allah telah memberikan makan dan minum kepadanya” (HR. Bukhari Muslim). Pendapat ini mengqiyaskan hubungan badan dan semua yang membatalkan dengan makan dan minum karena lupa dalam hadits di atas. Jika makan dan minum karena lupa tidak membatalkan puasa, maka demikian juga dengan hubungan badan yang dipaksa atau lupa.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ)) [رواه ابن ماجة (2045) وصححه الألباني في صحيح ابن ماجة] .
Artinya: “Abu Dzar al-Ghifari berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengampuni (memaafkan apa yang dilakukan oleh ummatku karena kesalahan, lupa juga karena dipaksa” (HR. Ibnu Majah, dan hadits ini dinilai sebagai Hadits Shahih oleh Syaikh Albany). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Fatâwâ Syaikh bin Bâz, juga dalam asy-Syarh al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ nya karya Syaikh ‘Utsaimin.
Kedua, keadaan di mana si isteri tidak dipaksa, tidak lupa atau dengan kata lain, mengikuti keinginan suami. Dalam hal ini para ulama terbagi tiga pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa isteri tidak wajib membayar kafarat, dan yang wajib membayar kafarat hanya suami saja. Pendapat ini merupakan pendapatnya madzhab Syafi'i dan satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
Hal ini karena dalam hadits kafarat sebagaimana disebutkan di atas, Rasulullah saw hanya memerintahkan laki-laki saja untuk membayar kafarat tersebut dan tidak memerintahkan wanitanya juga. Oleh karena itu, yang wajib membayar kafarat hanyalah laki-lakinya saja. Selain itu, pendapat ini juga berdalil bahwa kafarat merupakan hak yang berkaitan dengan harta karena hubungan badan, dan karena menyangkut harta, maka suami yang mempunyai kewajiban.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmû’ misalnya mengatakan, setelah memaparkan beberapa pendapat dalam Madzhab Syafi’i:
والأصح على الجملة: وجوب كفارة واحدة عليه خاصة عن نفسه فقط، وإنه لا شيء على المرأة، ولا يلاقيها الوجوب.
Artinya: “Pendapat yang paling kuat (dalam Madzhab Syafi’i) secara umum adalah: Wajib satu kafarat saja kepada suami untuk dirinya. Adapun isteri, tidak ada kewajiban untuk membayar kafarat ataupun sama-sama patungan dengan suami untuk membayar kafarat wajib tersebut”. Pendapat ini juga sekalipun tidak mewajibkan kafarat bagi isteri, namun ia tetap wajib mengqadha puasanya itu. Bahkan, setelah berhubungan badan, suami atau isteri tidak boleh membatalkan puasanya, keduanya harus tetap seperti orang yang berpuasa sampai maghrib tiba.
Pendapat kedua mengatakan bahwa cukup satu kafarat saja. Namun, apabila kafaratnya berupa puasa dua bulan berturut-turut, maka yang harus melakukannya adalah keduanya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Auza'i.
Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya jumhur ulama, bahwa wanita pun wajib membayar kafarat, di samping tentunya mengqadha puasanya itu. Di antara dalil dan alasan Jumhur adalah:
1.Baik laki-laki maupun wanita yang melakukannya sama-sama telah mencemarkan kehormatan bulan Ramadhan, oleh karena itu wanita pun wajib membayar kafarat. Di samping itu, dalam ajaran Islam, hukum bagi laki-laki dan perempuan tidak dibedakan kecuali ada dalil yang tegas membedakannya. Karena dalam kasus ini tidak ada dalil yang membedakannya, maka ketentuan hukumnya disamakan dengan laki-laki yakni sama-sama wajib membayar kafarat.
2.Hukuman kafarat ini dikarenakan hubungan badan yang dilakukan keduanya. Karena itu, kafarat nya pun wajib dibayar oleh masing-masing dari keduanya.
3.Mengenai alasan pendapat pertama, Jumhur membantahnya dengan mengatakan bahwa dalam hadits di atas Rasulullah saw tidak memerintahkan si wanita untuk membayar kafarat, hal ini tidak dapat dijadikan alasan kuat, karena boleh jadi saat itu si wanita sedang ada udzur untuk tidak puasa, misalnya sakit, bepergian atau lupa. Atau juga boleh jadi karena Rasulullah saw mengetahui kondisi ekonominya yang lemah. Oleh karena itu, tentu ini tidak menutup kewajiban keduanya, laki-laki dan wanita untuk sama-sama membayar kafarat.
Imam al-Buhûtî dalam kitabnya Syarh Muntaha al-Irâdât mengatakan:
وامرأة طاوعت غير جاهلة الحكم أو غير ناسية الصوم كرجل في وجوب القضاء والكفارة لأنها هتكت حرمة صوم رمضان بالجماع مطاوعة
Artinya: “Isteri (yang melakukan hubungan badan pada siang hari bulan Ramadhan dengan suaminya) karena mengikuti keinginan suaminya, bukan karena tidak tahu hukumnya, atau karena lupa, maka sama hukumnya dengan suami dalam hal wajib membayar Qadha puasanya juga membayar kafarat. Ini dikarenakan si isteri juga telah merusak kemuliaan puasa Ramadhan dengan jalan melakukan hubungan badan tanpa ada udzur yang dibenarkan”. Dari ketiga pendapat di atas, saya secara pribadi lebih cenderung untuk mengambil pendapat jumhur ulama, bahwa baik laki-laki maupuan wanita yang melakukan hubungan badan di siang hari dengan sengaja, keduanya wajib membayar kafarat berikut qadha. Tentu juga, tidak mengapa dan tetap diperbolehkan jika mengambil pendapat pertama Madzhab Syafi’i. Wallâhu a’alam bis shawâb.
Jawaban untuk pertanyaan kedua:
Ketika si wanita sudah selesai haidnya dalam waktu yang biasa (misalnya 7 hari), maka wanita tersebut sebaiknya segera mandi janâbah (mandi besar). Karena tidak ada alasan lagi baginya untuk mengundurkan atau mengakhirkan mandi janâbah, toh haidnya sudah selesai sesuai dengan waktu biasanya.
Bila ia mengundur-ngundur mandi besar karena malas atau tanpa alasan yang jelas, maka semoga hadits di bawah ini menjadi penghalang menunda-nunda mandi junub:
عَنْ عَلِىٍّ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ وَلاَ كَلْبٌ وَلاَ جُنُب)) [أخرجه أبو داود والنسائي وصححه ابن حبان]
Artinya: “Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda: “Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar (bernyawa), anjing dan orang yang junub (berhadats besar, termasuk haid)” (HR. Abu Daud, Nasai dan hadits tersebut dinilai sebagai Hadits Shahih oleh Ibn Hibban). Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bâri, mengutip pendapat al-Khattabi, bahwa yang dimaksud dengan kata junub dalam hadits di atas adalah mereka yang malas-malasan untuk segera mandi, dan bahkan terkadang tidak melakukannya.
Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhîm Âbâdy dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan malaikat dalam hadits di atas adalah malaikat pembawa berkah dan rahmat. Jadi mereka yang menunda-nunda mandi besar tanpa alasan yang jelas sebagaimana dalam keadaan yang ditanyakan di atas, dikhawatirkan termasuk dalam daftar orang yang tidak mendapatkan keberkahan dan rahmat yang dibawa oleh para malaikat.
Terlebih nanti jika waktu Zhuhur tiba, tentu ia seharusnya langsung mandi agar dapat shalat Zhuhur. Jika kemudian setelah shalat misalnya datang darah haid, maka shalatnya tidak berdosa, karena menurut keyakinannya saat itu dia sudah bersih sesuai dengan jadwal haid biasanya (satu minggu).
Dan jika, seandainya ia tetap menunggu sampai sore hari dengan alasan takut masih ada darah yang keluar, maka jika sampai sore tidak ada darah haid yang keluar, ia tetap wajib mengqadha shalat Zhuhur yang tertinggalnya itu. Demikian, wallâhu a’alam bis shawab.
Jawaban untuk pertanyaan ketiga:
Jika demikian keadaannya, maka dia wajib mengqadha shalat Zhuhur yang tertinggalnya itu. Lalu apakah dia berdosa karena telah menunda-nunda? Jika menunda-nunda nya itu karena tidak ada alasan yang jelas dan syar’i seperti dalam pertanyaan, maka hemat saya, ia dianggap telah melakukan kelalaian dalam melakukan kewajiban. Dan hendaknya ia segera beristighfar dan memohon ampun kepada Allah.
Namun, jika mengundurkan mandi tersebut karena ada alasan syar’i,, misalnya karena mau menunggu takut darah haid masih keluar karena terkadang biasanya juga suka keluar di sore hari, maka hemat saya, ia tidak dipandang lalai juga tidak berdosa. Namun segera mandi dan segera shalat, tentu ini yang harus didahulukan karena darah haid sudah selesai dalam waktu seperti biasanya. Wallâhu a’lam bis shawâb.
Jawaban untuk pertanyaan keempat:
Jika darah haidnya sudah selesai sebagaimana biasanya sebagaimana ditanyakan, maka ia harus segera melakukan shalat Ashar pada waktunya, tidak dilakukan pada waktu Maghrib. Bahkan, ia juga harus mengqadha shalat Zhuhur yang tertinggalnya itu. Demikian. Wallâhu a’lam bis shawâb
Jawaban untuk pertanyaan kelima:
Sebelumnya perlu saya sampaikan terlebih dahulu pandangan para ulama seputar menyentuh kemaluan apakah membatalkan wudhu atau tidak.
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Pertama, Jumhur ulama yang dalam hal ini Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menyentuh kemaluan secara langsung tanpa penghalang membatalkan wudhu, dengan rincian dan penjelasan di bawah ini:
Menurut Malikiyyah, menyentuh kemaluan depan membatalkan wudhu, sedangkan menyentuh kemaluan belakang (anus) tidak membatalkan wudhu. Dan yang membatalkan wudhu itu jika memenuhi persyaratan berikut:
1.Menyentuhnya langsung, tanpa ada penghalang.
2.Menyentuh kemaluan depan tersebut yang masih bersambung. Apabila ada potongan kemaluan yang tidak bersambung lagi, lalu disentuh, maka tidak membatalkan wudhu.
3.Menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan atau bagian sampingnya, atau juga dengan bagian dalam jari-jari tangan atau bagian sampingnya. Jika menyentuhnya dengan bagian luar telapak tangan, maka tidak membatalkan wudhu.
4.Baik menyentuhnya itu sengaja atau tidak sengaja, tetap membatalkan wudhu.
5.Adapun wanita yang menyentuh kemaluannya sendiri tidak membatalkan wudhu, sekalipun ia memasukkan jarinya ke dalam kemaluannya itu. Juga tidak membatalkan wudhu jika menyentuh kemaluan anak kecil atau kemaluan orang lain yang telah dewasa.
6.Menyentuh kemaluan yang membatalkan wudhu itu adalah orang yang telah baligh jika menyentuh kemaluannya sendiri, bukan menyentuh kemaluan orang lain. Jika menyentuh kemaluan orang lain sekalipun orang lain tersebut dewasa, tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan menurut Syafi’iyyah, menyentuh kemaluan baik kemaluan depan maupun belakang (anus) membatalkan wudhu, baik kemaluan tersebut masih bersambung ataupun sudah terputus selama masih nempel dan belum terpisah. Hal ini dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.Menyentuhnya langsung, tanpa ada penghalang apapun.
2.Menyentuhnya dengan telapak tangan bagian dalam atau bagian dalam jari-jari tangan. Sedangkan jika menyentuhnya dengan telapak tangan bagian luar atau dengan ujung jari, maka tidak membatalkan wudhu.
3.Termasuk membatalkan wudhu tersebut, baik yang disentuhnya itu kemaluannya atau kemaluan orang lain, baik anak-anak atau orang dewasa, baik kemaluan orang yang masih hidup atau yang sudah mati.
4.Menyentuh kemaluan isteri bagian depan membatalkan wudhu, sedangkan kemaluannya bagian belakang, tidak membatalkan wudhu.
Adapun menurut Hanabilah: menyentuh kemaluan manusia baik kecil, besar, hidup ataupun yang sudah mati, dan baik menyentuh kemaluannya sendiri atau kemaluan orang lain, membatalkan wudhu. Hal ini dengan syarat, menyentuhnya langsung tanpa penghalang, dan menyentuhnya dengan tangan baik bagian dalam maupun bagian luarnya, kecuali jari-jari tangan. Jika jari tangan menyentuhnya, maka tidak membatalkan wudhu. Namun, seorang wanita yang menyentuh kemaluannya sendiri tidak membatalkan wudhu, kecuali jika ia memasukkan jari tangannya ke dalam lobang kemaluannya itu.
Di antara dalil Jumhur ulama yang mengatakan menyentuh kemaluan secara langsung tanpa penghalang membatalkan wudhu di antaranya hadits di bawah ini:
عن بُسْرَة بنت صفوان قالت: قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: ((من مس ذكره فلا يصلى حتى يتوضأ)) [رواه الخمسة وصححه الترمذى، قال البخارى : هو أصح شىء فى هذا الباب]
Artinya: “Busrah bint Shafwan berkata, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menyentuh kemaluannya maka ia tidak boleh shalat sampai ia wudhu terlebih dahulu” (HR. Imam yang lima, dan dinilai shahih oleh Imam Turmudzi. Imam Bukhari mengatakan: “Hadits ini adalah hadits yang paling shahih dalam masalah ini”). وعن بسرة أيضا قالت: سمعت رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم يقول: ((ويتوضأ من مس الذكر)) [رواه أحمد والنسائى].
Artinya: “Busrah bint Shafwan berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Dan hendaknya berwudhu orang yang menyentuh kemaluannya” (HR. Ahmad dan Nasai). وعن أم حبيبة رضى اللَّه عنها عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: ((من مس فرجه فليتوضأ)) [رواه ابن ماجه وصححه أحمد]
Artinya: “Dari Ummu Habibah, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Imam Ahmad). Malikiyyah berpegang dengan dua hadits paling atas, dan karenanya baginya menyentuh kemaluan belakang tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan Syafi’iyyah dan Hanabilah, berpegang dengan hadits ketiga juga, di mana dalam hadits tersebut menggunakan kata al-farj, yang dalam Arab berarti belahan atau lobang di antara dua hal (asy-syaq bainas syai’ain). Dan karenanya, kata al-farj dalam bahasa Arab mencakup kemaluan depan dan belakang (dubur, anus).
Sedangkan Syafi’iyyah berpendapat yang membatalkan wudhu itu jika menyentuh dengan telapak tangan bagian dalam bukan bagian luar, berdasarkan hadits di bawah ini:
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إذا أفضى أحدكم بيده إلى فرجه وليس بينها ستر ولا حائل فليتوضأ)) [رواه الحاكم في المستدرك وصححه، ورواه أحمد في مسنده والطبراني في معجمه والدارقطني في سننه وكذلك البيهقي]
Artinya: “Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “Apabila seseorang menyentuhkan tangannya kepada kemaluannya secara langsung tanpa penutup juga penghalang, maka hendaknya ia berwudhu” (HR. Hakim, Ahmad, Thabrani, DarulQuthni dan Baihaki).
Kata al-Ifdhâ’ dalam hadits di atas menurut Syafi’iyyah—di antaraya sebagaimana disampaikan oleh Imam asy-Syairazi dan Imam Nawawi—adalah menyentuh dengan telapak tangan bagian dalam, bukan bagian luar. Di samping itu, telapak tangan bagian luar tidak disebut alat untuk menyentuh. Karena itu, Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang membatalkan wudhu itu jika menyentuhnya dengan telapak tangan bagian dalam.
Sedangkan Hanabilah memahami kata al-ifdhâ’ dalam hadits di atas menyentuh tanpa penghalang (allams min ghairi hâil), baik dengan tangan bagian dalam ataupun bagian luar. Dengan demikian Hanabilah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan secara langsung, baik dengan tangan bagian luar ataupun bagian dalam, membatalkan wudhu. Dari hadits ini juga, Hanabilah berpendapat, yang membatalkan wudhu itu bukan semata telapak tangan yang menyentuhnya, akan tetapi juga tangan secara umum. Ini dikarenakan dalam hadits tersebut Rasulullah saw menyebutkan kata ‘biyadihi’ yang artinya dengan tangannya, bukan ‘bikaffihi’ telapak tangannya.
Pendapat kedua, yaitu pendapatnya Hanafiyyah, menyentuh kemaluan baik kemaluan depan maupun belakang tidak membatalkan wudhu. Ini didasarkan hadits di bawah ini:
عن طلق بن علي أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الرجل يمس ذكره بعد أن يتوضأ, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((هل هو إلا بضعة منك)) [رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه وأحمد وصححه عمر بن القلاش، وقال: هو عندنا أثبت من حديث بسرة، وصححه ابن حبان]
Artinya: "Dari Thalq bin Ali, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw tentang seseorang yang memegang kemaluannya setelah berwudhu. Rasulullah saw menjawab: "Kemaluan itu tidak lain melainkan sebagian dari anggota tubuh kamu (makanya tidak membatalkan wudhu=pent" (HR. Abu Daud, Turmudzi, Nasai, Ibn Majah, Ahmad dan hadits ini dinilai sebagai Hadits Shahih oleh Umar bin al-Qallâsy, ia juga berkata: “Hadits ini menurut kami, lebih kuat dari pada hadits Busrah”, juga dinilai sebagai Hadits Shahih oleh Ibn Hibban).Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya seperti Ibnu Taimiyyah, menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, akan tetapi dianjurkan atau sunnat jika berwudhu lagi.
Lalu apa yang dimaksud kemaluan itu? Apakah rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan juga dipandang sebagai kemaluan sehingga membatalkan wudhu?
Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa yang dimaksud dengan al-farj (kemaluan) dalam bahasa Arab adalah nama untuk menyebut anggota badan tempat keluarnya hadats (ismun limakhrajil hadats) yang mencakup dua hal al-qubul (kemaluan depan) dan ad-dubur (kemaluan belakang). Dan yang dimaksud dengan kemaluan tersebut adalah hanya anggota badan tempat keluarnya hadats tersebut.
Karena itu, selain dari itu, termasuk rambut, dua buah pelir atau lainnya, tidak membatalkan wudhu.
Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i mengatakan:
فإن مس أنثييه أو أليتيه أو ركبتيه ولم يمس ذكره لم يجب عليه الوضوء
Artinya: “Jika ia menyentuh dua buah pelirnya, atau ekor (bagian belakang) atau dua lututnya, dan bukan kemaluannya, maka tidak wajib berwudhu”. Dalam kitab al-Majmû’, Imam Nawawi juga berkata:
قال أصحابنا : والمراد بالدبر ملتقى المنفذ , أما ما وراء ذلك من باطن الأليين فلا ينقض بلا خلاف
Artinya: “Para ulama Syafi’iyyah mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kemaluan belakang itu adalah tempat bertemunya bagian pembuangan (maksudnya lobang anus). Adapun selain itu, bagian dalam ekor (maksudnya pantat bagian belakang), tidak membatalkan wudhu tanpa ada perbedaan pendapat para ulama”. Rambut kemaluan tidak membatalkan wudhu, karena dalam bahasa Arab tidak termasuk al-farj atau adz-dzakar (kemaluan).
Demikian jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam bis shawâb. Terima kasih.
Aep Saepulloh D
0 komentar:
Post a Comment