Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati
Suatu hari Tsabit bin Ibrahim—ayahnya Imam Abu Hanifah, salah satu dari empat imam madzhab—berjalan dipinggir kebun. Tiba-tiba jatuhlah sebuah apel dari kebun yang berada di pinggir jalan tersebut. Tsabit kemudian mengambilnya, dan segera memakannya.
Ketika ia sudah memakan setengahnya, tiba-tiba ia ingat bahwa apel tersebut bukan miliknya, dan tidak ada hak baginya untuk memakannya.
Ingat akan hal itu, ia segera menuju ke kebun menghampiri seorang tukang kebun yang berada di dalam kebun apel tersebut sambil berkata: “Saya telah memakan setengah apel anda, mohon dihalalkan, dan ambillah setengahnya lagi, karena ini adalah milikmu”.
Tukang kebun itu berkata: “Saya tidak dapat menghalalkannya, karena saya bukan pemilik kebun apel ini, saya hanya pekerja saja. Kebun ini milik majikan saya”.
Tsabit kembali berkata: “Kalau demikian dimana majikanmu itu, bawa saya kepadanya, saya mau memohon maaf dan hendak meminta agar menghalalkan setengah apel yang telah saya makan ini”.
“Majikan saya berada jauh, jarak perjalanan dari sini ke rumah majikan, kurang lebih satu hari satu malam perjalanan”, tukas tukang kebun itu.
“Saya tetap akan pergi menemuinya, sekalipun perjalanan menuju tempatnya lebih jauh lagi sekalipun, karena Rasulullah saw pernah bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka tempat kembalinya kelak”, jawab Tsabit.
Pergilah Tsabit menuju rumah pemilik kebun apel. Begitu sampai, ia langsung mengetuk pintu. Pintu terbuka, nampak di hadapannya seorang laki-laki setengah tua berdiri dengan senyum manis.
Setelah mengucapkan salam, Tsabit segera menceritakan apa yang telah dialaminya, kemudian berkata: “Mohon Tuan meridhakan setengah apel yang telah saya makan tadi, dan ini setengahnya lagi saya serahkan kepada Anda”.
Pemilik kebun menatapnya tajam, kemudian berkata: “Saya tidak akan meridhakannya, kecuali dengan satu syarat”.
“Syarat apa itu?”, Tanya Tsabit.
“Kamu harus menikahi putri saya”, jawab pemilik kebun.
“Hanya, putri saya itu bisu, tuli, lumpuh dan buta. Bagaimana?”, lanjut pemilik kebun.
“Saya siap menikahinya Tuan, demi untuk menghalalkan
setengah apel yang telah saya makan itu”, jawab Tsabit.
Pemilik kebun segera menghadirkan dua orang saksi, dan akad pernikahan pun berjalan dengan lancar.
Pemilik kebun segera membawa Tsabit memasuki kamar untuk menemui isterinya yang baru itu.
Tsabit kemudian berkata: “Saya akan mengucapkan salam terlebih dahulu kepadanya, sekalipun saya tahu ia bisu tidak dapat berbicara, namun para malaikat yang akan menjawabnya”.
“Assalâmu ‘alaiki warahmatullâh wabarakâtuh”, tutur Tsabit.
“’Alaikas salâm warahmatullâh wabarakâtuh”, jawab isterinya.
Tsabit kaget, karena ternyata isterinya itu dapat berbicara. Sebelum rasa kagetnya hilang, tiba-tiba isterinya itu berdiri menghampiri sambil memegang tangan kanannya. Tsabit tambah heran.
“Ada apa ini?” Tanyanya penuh rasa heran.
“Isteriku telah menjawab salam, kalau demikian dia itu tidak bisu, dan ia juga mendengar salam saya, berarti dia tidak tuli. Ia juga berdiri di hadapan saya, berarti dia tidak lumpuh, bahkan ia telah memegang tangan saya, berarti ia tidak buta”, lanjutnya penuh rasa heran.
Tsabit kemudian bertanya kepada isterinya itu: “Buya kamu menuturkan bahwa kamu itu tuli, buta, bisu, dan lumpuh, namun sebenarnya tidak demikian, kamu sehat seperti saya, tidak kurang sedikit apapun”.
“Buya saya menerangkan bahwa saya buta, karena saya buta dari hal yang haram, kedua mata saya tidak pernah diperlihatkan kepada yang haram. Saya juga tuli, karena telinga saya tidak pernah dipakai untuk mendengarkan sesuatu yang tidak dibenarkan. Saya juga bisu, karena lidah dan mulut saya tidak pernah berkata selain dzikir kepada Allah, saya juga lumpuh, karena kedua kaki saya tidak pernah dipakai berjalan kepada sesuatu yang dibenci oleh Allah”, jawab isterinya.
Tsabit bersyukur, ia tatap terus wajah isterinya itu, nampak wajahnya yang sangat cantik bersinar laksana bulan purnama di tengah kegelapan malam. Malam itu juga, Tsabit menggaulinya, dan hasil dari hubungannya itu lahir seorang putra yang kelak sangat terkenal kesalehan dan ilmunya yang luas yang memenuhi seluruh lapisan dunia. Dia adalah Imam Abu Hanifah. Subhanallah.
Keterangan: Buya merupakan singkatan dari abuya yang dalam bahasa Arab berarti ayah saya.
0 komentar:
Post a Comment