KAWIN LARI DENGAN WALI HAKIM BOLEHKAN?


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr wb.

1. Bagaimana jika seorang perempuan yang tidak direstui orang tuanya, kemudian dia lari meninggalkan rumah dan menikah dengan seorang lelaki, tetapi berwali hakim? Apakah pernikahannya itu syah? Karena yang saya ketahui bahwa yang berhak menikahkan seorang gadis adalah walinya.



2. Bagaimana proses perkenalan hingga pernikahan yang sesuai dengan syari'at Islam? Bolehkah pacaran?

3. Bagaimana hukumnya kawin dengan saudara sepupu? Karena kalau melihat sejarah Ali bin Abi Tholib dan Fatimah binti Muhammad SAW adalah saudara sepupu, tetapi kalau dikaitkan dengan hubungan saudara, pernikahan dengan sepupu (kalau secara kesehatan) memungkinkan terjadinya kelainan genetik.

4. Apakah anak bawaan dari ayah tiri atau anak bawaan dari ibu tiri juga termasuk mahrom?

Mohon maaf, banyak pertanyaan saya.
Jazakalloh khoiron katsiron.
Wassalamu 'alaikum wr wb.
Hormat saya,
Nugroho Kuncoro Y.


Jawaban:
Wa’alaikum salam wr.wb.

Terima kasih Mas Nugroho atas pertanyaan sangat luar biasa ini, jazaakallah.

1.Sebelumnya kita perlu melihat terlebih dahulu pendapat para ulama seputar hukum wali dalam pernikahan perempuan. Para ulama dalam hal ini terbagi empat pendapat:

Pendapat pertama yaitu pendapatnya Jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, di antaranya tiga Imam Madzhab, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, mensyaratkan wali dalam pernikahan seorang perempuan yang sudah dewasa dan berakal, baik dia gadis maupun janda. Jumhur menilai, jika seorang perempuan yang menikah tanpa ada wali, maka pernikahannya tidak sah.

Pendapat kedua, yaitu pendapatnya Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi dan Imam az-Zuhri berpendapat bahwa wali bukanlah termasuk syarat sahnya pernikahan. Ia hanya sunnat saja (dianjurkan). Artinya, menurut Imam Abu Hanifah, perempuan yang dewasa dan berakal sehat, baik gadis maupun janda, jika menikah tanpa wali, maka nikahnya sah, namun tidak mendapatkan pahala sunnat.

Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya Imam Daud ad-Dzahiri, bahwa wali disyaratkan jika perempuan yang hendak menikahnya itu adalah gadis, sedangkan jika ia janda maka tidak disyaratkan.

Pendapat keempat, adalah pendapatnya Ibnu Sirin, al-Qasim bin Muhammad, al-Hasan bin Shalih, juga Abu Yusuf, bahwa jika perempuan menikahkan dirinya tanpa wali, maka pernikahannya diserahkan kepada keputusan wali. Jika walinya menyetujui dan merestui, maka pernikahannya sah, namun jika walinya tidak menyetujui, maka tidak sah. Untuk lebih jelas pendapat-pendapat di atas dalam dilihat dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Bidâyatul Mujtahid juga dalam Badâi’ ash-Shanâ’i.

Dari keempat pendapat di atas, pendapat Jumhur ulama, hemat saya, dan ini juga banyak diambil oleh sebagian besar Negara-negara Islam, lebih kuat dan lebih sesuai dengan kemaslahatan si wanita juga keluarganya, juga masyarakat muslim pada umumnya. Jumhur ulama berdalil, di antaranya adalah bahwa dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perintah menikahkan perempuan, seperti dalam surat an-Nur ayyat 32, juga al-Baqarah ayat 221, Allah menujukkan pernikahan perempuan atau tidaknya kepada wali mereka. Ini artinya bahwa pernikahan mereka tidak oleh mereka sendiri akan tetapi oleh walinya.

Di samping itu, banyak hadits yang lebih mempertegas lagi. Di antaranya adalah dua hadits berikut ini:

عَنْ أَبِى مُوسَى أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ)) [رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Dari Abu Musa, Rasulullah saw bersabda: “Tidak sah nikah tanpa wali” (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

عنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ)). [رواه الترمذي، وابن ماجه وأحمد وقَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَن]
Artinya: “Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa idzin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika ia berhubungan badan dengan perempuan tersebut maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, karena telah halal berhubungan badan dengannya. Jika mereka berselisih, maka penguasa (hakim) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hasan”).

Kedua hadits di atas dipadang shahih oleh sebagian besar ulama hadits, termasuk ulama hadits belakangan yang terkenal ketat dalam menilai hadits yaitu Syaikh Albany. Ini di antara dalil pendapat Jumhur ulama. Dengan demikian, wali adalah di antara syarat sah pernikahan. Perempuan yang menikah tanpa wali, menurut Jumhur, pernikahannya tidak sah.

Lalu kapan wali hakim berperan? Wali hakim berfungsi bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Misalnya jika seluruh walinya sudah meninggal dunia, atau wanita yang masuk Islam sementara ayah atau wali lainnya bukan muslim.

Selain itu, wali hakim juga dapat berfungsi jika seluruh wali perempuan menolak (wali ‘adhal) menikahkan perempuan tersebut sementara perempuan tersebut berakal sehat, juga baligh, serta calon suaminya satu kufu’ (satu level dengan keadaan si perempuan, terutama dalam hal agamanya). Jika seluruh wali menolak dalam keadaan di atas, maka seluruh ulama sepakat wali berpindah kepada hakim.

Demikian juga, menurut Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah, jika seorang wali menolak menikahkan perempuan berakal, dewasa dan calon suaminya itu sekufu’, maka walinya berpindah kepada Wali Hakim. Sedangkan menurut Hanabilah, dalam kasus terakhir ini, kewaliannya berpindah kepada wali yang lebih jauh.

Dari sini nampak, bahwa wali hakim tidak dapat berfungsi kecuali jika tidak ada wali atau wali tersebut menolak menikahkan putrinya padahal memenuhi syarat-syarat di atas.

Apabila dalam kasus di atas, wali menolak menikahkan perempuan tersebut tanpa alasan yang benar, tidak syar’i, padahal si wanita sudah dewasa, berakal sehat dan calonnya adalah baik agamanya juga satu kufu’, maka jumhur membolehkan untuk menikah dengan wali hakim. Hanya perlu diingat, bahwa syarat-syarat di atas tidak boleh dilihat subjektif. Anda perlu mengetahui alasan orang tua, juga mendengar nasihat keduanya. Penolakan mereka, pasti demi kebaikan putrinya, bukan semata-mata karena factor lain.

Oleh karena itu, saya secara pribadi tidak membenarkan seorang perempuan, bagaimanapun keadaannya untuk ‘nikah lari’ tanpa ada idzin dari orang tua khususnya walinya. Karena, orang tua, umumnya jauh lebih mengetahui kemaslahatan putra putrinya. Betapa banyak mereka yang yakin dengan pilihannya, lalu dia ‘kawin lari’ tanpa izin walinya, lalu setelah menikah ia menyesali perbuatannya, dan mengakui kebenaran alasan orang tuanya. Sekali lagi, untuk para wanita, izin orang tua sangatlah perlu dan harus, karena bukan semata untuk masalah sah tidaknya pernikahan, akan tetapi keberkahan setelah pernikahannya. Izin orang tua adalah kunci keberkahan dan kebahagiaan.

Demikian juga untuk orang tua, khususnya para wali, tidak dibenarkan menghalang-halangi putrinya untuk menikah dengan seseorang yang menjadi pilihannya selama dia baik, sekufu’, juga putrinya itu telah dewasa. Karena wali yang menghalang-halangi tersebut (wali ‘adhal) dibenci oleh Allah. Allah berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوف
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232).

2.Mengenali calon pasangan menikah dalam Islam dianjurkan. Dalam sebuah hadits Shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw pernah memerintahkan seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan untuk melihat calonnya itu terlebih dahulu. Perhatikan hadits di bawah ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟)). قَالَ: لاَ. قَالَ: ((فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِى أَعْيُنِ الأَنْصَارِ شَيْئًا)) [رواه مسلم]
Artinya: “Abu Hurairah berkata: “Aku pernah berada di samping Rasulullah saw. Lalu tiba-tiba seorang laki-laki datang dan mengabarkan bahwa ia hendak menikahi seorang perempuan Anshar. Rasulullah saw lalu berkata kepadanya: “Apakah kamu telah melihatnya?” Ia menjawab: “Belum”. Rasul bersabda kembali: “Pergi dan lihat lah calon mu itu, karena dalam mata orang Anshar itu ada sesuatu” (HR. Muslim).

Dalam riwayat Imam Nasai dikatakan: “Karena hal itu akan lebih mempererat tali cinta kasih dan kelanggengan rumah tangga kalian berdua”.

Hadits di atas menjadi dalil pentingnya seorang laki-laki atau seorang perempuan mengenal calonnya. Termasuk melihat wajah calonnya. Orang yang menikah dengan orang yang belum dilihatnya, baik langsung ataupun tidak, termasuk tidak mengikuti sunnah Rasul.

Hanya, mengenal dalam ajaran Islam ada aturan dan batasannya. Tidak diperbolehkan selama proses mengenal tersebut melanggar aturan Allah, seperti berjalan berduaan di tempat gelap, berpegangan tangan, atau tatap-tatapan tanpa hal yang perlu. Karena, setan akan selalu menggoda dan mengganggunya.

Termasuk di dalamnya pacaran. Jika pacaran yang dimaksudkan adalah hanya mengenal saja dengan menjaga aturan-aturan Islam, hemat saya, diperbolehkan. Namun  jika pacaran tidak seperti itu, dan umumnya yang saat ini terjadi, maka tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.

Kalau boleh saya menyarankan, mengenal calon pasangan tidak perlu waktu lama sampai bertahun-tahun. Karena itu akan lebih banyak madaratnya dari pada maslahatnya. Toh sekalipun sudah lama mengenal, tidak akan pernah kita mengetahui  seluruh sifat pasangan kita, terutama wanita. Bahkan setelah anda menikah puluhan tahun pun misalnya, tetap wanita itu misteri, tidak akan dapat diketahui seluruh kepribadiannya.

Untuk itu hemat saya, jika anda sudah siap lahir bathin untuk menikah, maka mohonlah dan berdoalah kepada Allah agar ditunjukkan calonnya, lalu anda berusaha mencarinya. Setelah mendapatkan, carilah informasi tentang calon anda itu dari teman dekat atau keluarganya, termasuk anda mengobrol dengan calon pasangan anda itu, dengan disertai mahramnya. Setelah anda yakin dia baik, penyayang dan bertanggung jawab, maka mohonlah kepada Allah untuk membimbing dan menunjukkan jalan, lalu bismillah lah untuk melangsungkan pernikahan. Niatkan pertama dan utama karena Allah.
Rasulullah saw bersabda:

عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((من تزوج امرأة لعزها لم يزده الله إلا ذلا, ومن تزوجها لمالها لم يزده الله إلا فقرا, ومن تزوجها لحسبها لم يزده الله إلا دناءة, ومن تزوج امرأة لم يرد إلا أن يغض بصره, ويحصن فرجه أو يصل رحمه, بارك الله له فيها, وبارك لها فيه)) [أخرجه الطبراني]
Artinya: "Dari Anas, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang menikahi seorang wanita semata-mata karena kecantikannya, maka Allah tidak akan menambahkan kepada laki-laki itu kecuali kehinaan. Barangsiapa yang menikahi wanita semata-mata karena hartanya, Allah tidak akan menambahkan kepadanya kecuali kefakiran. Barangsiapa yang menikahi wanita semata-mata karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kepadanya selain kerendahan. Barangsiapa yang menikahi wanita semata-mata dengan tujuan untuk menundukkan pandangannya, menjaga kehormatannya atau untu menghubungkan silaturahmi, maka Allah akan memberkahi laki-laki dan wanita itu selama pernikahannya" (HR. Thabrany).

Jika anda masih belum siap untuk menikah, hemat saya, janganlah mencari calon terlebih dahulu. Konsentrasilah dengan hidup dan persiapan anda terlebih dahulu. Karena kalau sudah mempunyai calon, sementara anda belum siap, maka madaratnya akan lebih banyak dari pada maslahatnya.
Begitu anda sudah siap, maka lakukanlah seperti yang saya sampaikan di atas. Demikian. 

3.Wanita-wanita yang haram dinikahi ada yang  karena keturunan, karena susuan dan ada juga karena pernikahan. Pernikahan antar sepupu, tidak termasuk salah satu dari pernikahan yang diharamkan. Karena itu, sesama anak paman atau anak bibi, boleh menikah satu sama lain, dan pernikahannya sah. Yang dilarang adalah paman atau bibi menikah dengan keponakannya.

Menikah antar sepupu ini, juga banyak dilakukan oleh masyarakat Arab sampai sekarang. Pernikahan seperti ini adalah sudah menjadi tradisi mereka. Imam Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, tidak menikah antar sepupu secara langsung, karena Imam Ali itu sepupu langsungnya dengan Rasulullah saw. Adapun Fatimah adalah putri dari sepupu Imam Ali bin Abi Thalib. Dan ini tentu lebih diperbolehkan lagi.

Di antara tujuan pernikahan adalah untuk memperluas silaturahim. Karena itu, para ulama menganjurkan agar menikah dengan seseorang yang tidak ada ikatan keluarga, agar tali silaturahim menjadi lebih luas lagi. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw, di mana beliau tidak menikah dengan keluarga beliau tapi dengan ‘orang lain’ yang umumnya tidak ada ikatan keluarga. Kalaupun ada, ikatannya sudah sangat jauh, seperti dengan Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, Ummu Salamah dan lainnya.

Adapun berkaitan dengan penyakit genetic sebagaimana ditanyakan, maka jika teori itu benar, maka sebaiknya tidak menikah dengan sepupu atau yang masih ada keluarga. Namun, jika ada yang menikah antar sepupu, tetap sah apapun dan bagaimana pun akibatnya secara kesehatan, karena tidak ada nash yang melarang pernikahan antar sepupu.

4.Anak bawaan dari ayah tiri atau dari ibu tiri boleh dinikahi oleh putra atau putri ayah tiri atau ibu tirinya. Artinya, jika seorang laki-laki sudah mempunyai anak laki-laki menikahi seorang perempuan janda yang juga sudah mempunyai anak perempuan, maka anak laki-laki si bapak tadi boleh menikah dengan anak perempuan si ibu janda tadi. Karena keduanya tidak dipandang sebagai mahram, dan karenanya boleh menikah.

Adapun jika seorang laki-laki menikahi seorang  perempuan janda yang mempunyai anak gadis, dan laki-laki tersebut sudah berhubungan badan dengan perempuan janda tersebut, maka ia tidak boleh menikahi anak gadisnya itu. Namun, jika si laki-laki tadi menikahi wanita janda tersebut, lalu keduanya berpisah baik karena cerai atauu meninggal dunia, sebelum keduanya berhubungan badan, maka si laki-laki tadi boleh menikahi anak gadisnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut ini:

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Artinya: “(Diharamkan juga bagimu) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya” (QS. An-Nisa: 23). 
Dalam kaidah fiqih disebutkan:

العقد على البنات يحرم الأمهات، والدخول بالأمهات يحرم البنات
Artinya: “Melangsungkan akan pernikahan (baik berhubungan badan atau tidak) dengan anak-anak perempuan, maka menyebabkan haram menikahi ibu-ibunya. Berhubungan badan dengan ibu-ibunya menyebabkan haram menikahi anak-anak perempuannya”.
Demikian semoga jelas. Wallâhu a’lam bis shawâb. Aep SD

0 komentar:

Post a Comment