Islam Dan Perbudakan

 Pertanyaan:
Assalamu'alaikum....

Ustadz Aep, perkenalkan saya salah seorang pembaca buku ustadz yang judulnya Setan Pun Hafal Ayat Kursi. Ada pertanyaan yang ingin saya ajukan:

Kita tahu bahwa Islam berjasa besar menghapus perbudakan melalui kifarat melanggar hubungan suami-istri di bulan Ramadhan, kifarat melanggar sumpah, dan sekian banyak anjuran Rasulullah untuk memerdekakan budak.

Islam menghapus perbudakan secara perlahan-lahan karena pada masa itu perbudakan begitu mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Quraisy.

Pertanyaannya, ketika dakwah Islam mulai diterima oleh sebagian kaum Quraisy Mekah, bahkan kemudian menemukan momentumnya di Madinah, hak-hak majikan terhadap budak perempuannya dikurangi perlahan-lahan. Misalnya, diawal-awal Islam datang, majikan masih diperbolehkan menggauli budak perempuannya. Apakah ketika Islam mulai berkembang hak-hak semacam ini sudah tidak diperbolehkan lagi. Dengan kata lain, majikan sudah tidak boleh menggauli lagi budak perempuannya. Adakah pengurangan-pengurangan hak terhadap budak itu dilakukan sampai akhirnya perbudakan berhasil dihapuskan.

Demikian pertanyaan saya ustadz. Saya tunggu jawabannya. Jazakallah khairan katsiran.

Wassalamu'alaikum....
M. Syafi'ie di Jakarta


Jawaban:

Wa’alaikum salam wr.wb.
Terima kasih Bapak Syafi’i atas pertanyaan luar biasa ini, juga terima kasih juga telah berkenan membaca buku saya, semoga buku tersebut dapat bermanfaat untuk saya pribadi, Bapak Syafi’i, dan umumnya bagi seluruh pembaca di mana pun berada.

Betul sekali, Islam sangat konsen untuk mempersempit perbudakan yang pada saat itu sudah sangat mengakar di seluruh masyarakat manusia, termasuk di dunia Arab. Terutama pada masa sebelum Islam datang, para budak betul-betul tidak dianggap sebagai manusia, akan tetapi lebih dilihat sebagai benda yang tidak  ada nilai dan harganya.

Hampir semua Negara mengenal perbudakan, seperti dalam kehidupan Mesir Kuno, India, Yunani, Romawi, Eropa, Arab, bahkan dalam agama Yahudi dan Nashrani pun juga ada. Dalam Perjanjian Lama (al-‘Ahd al-Qadîm) misalnya, perbudakan diperbolehkan, baik dengan jalan membeli ataupun karena sebab peperangan.

Dalam Perjanjian Lama juga disebutkan, seseorang yang miskin  dapat menjual dirinya kepada orang kaya, atau orang yang berhutang dapat menyerahkan dirinya kepada orang yang menghutangi selama enam tahun sebagai cara untuk membayar hutangnya. Perhatikan misalnya dalam Perjanjian Lama Kitab al-Khurûj (Exodus), pasal 21 ayat 1 dan 2 disebutkan:

1-وهذه هي الأحكام التي تضع أمامهم:
2-إذا اشتريت عبدا عبرانيا، فست سنين يخدم، وفي السابعة يخرج حرا مجانا

Artinya: “(1) Dan ini adalah hukum-hukum yang ditetapkan di depan mereka:

(2) Apabila kamu membeli seorang budak berbangsa Ibrani, maka selama enam tahun ia mengabdi. Dan pada tahun ketujuh, ia kembali menjadi orang merdeka dengan gratis (tanpa membayar apapun)”.
Bahkan, kurang lebih 6 bulan yang lalu (pada tahun 2010 M), channel al-Jazeera al-Watsâiqiyyah (channel al-Jazeera yang selalu menayangkan film-film documentary) menayangkan laporan panjang bahwa saat ini pun budaya perbudakan masih ada, tepatnya di salah satu kampung di Negara Yaman. Bahkan dalam siaran tersebut, budak-budak dan majikannya pun sempat diwawancarai secara panjang lebar. Dan ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa saat ini masih ada budaya perbudakan di beberapa daerah terpencil lainnya. ‘Ala kulli hal, bahwa perbudakan bukan hanya ada dalam ajaran Islam dan masyarakat Arab, tapi di seluruh Negara dan agama di dunia.

Lalu, apakah Islam menghapus perbudakan? Apabila kita memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadits-hadits Rasulullah saw, sepengetahuan saya, memang tidak ada ayat atau hadits yang secara nash langsung menghapus atau melarang perbudakan. Namun demikian, Islam menetapkan atuuran-aturan yang menjurus kepada upaya penghapusan perbudakan. Karena itu, Prof. DR. Ahmad Syalaby mengatakan bahwa Islam menghapus perbudakan secara tidak langsung (ghair mubâsyir).

Lalu mengapa Islam tidak secara langsung menghapus perbudakan? Menurut Ahmad Syalaby dalam bukunya al-Islâm, paling tidak ada dua alasan penting:  
Pertama, untuk menyesuaikan dengan keadaan pada saat Islam turun, di mana peperangan antara muslim dan non muslim banyak terjadi. Jika pada saat itu non muslim membolehkan perbudakan, maka sudah semestinya ummat Islam pun melakukan yang sama, agar mereka betul-betul tunduk dengan aturan Islam seputar perbudakan ini.

Kedua, bahwa dalam menetapkan peraturan hukum, Islam senantiasa menempuh jalan yang penuh kelembutan, dan memperhatikan kondisi manusianya. Karena itu, Islam menetapkannya secara perlahan dan bertahap, sebagaimana terjadi untuk penetapan hukum minuman keras. Ini dimaksudkan agar peraturan Islam mudah diterima dan dilaksanakan. Termasuk di dalamnya dengan persoalan perbudakan.  

Sedangkan menyangkut peraturan-peraturan yang secara tidak langsung berupaya menghapus perbudakan, nampak dari beberapa hal di bawah ini:

1. Ketika Islam datang, terdapat banyak cara untuk mengambil budak, di antaranya adalah melalui jual beli, membayar hutang, hibah, hadiah, peperangan, undian, adu milik, penjarahan atau penyerangan, perampokan dan lain sebagainya. Ketika Islam datang, semua cara ini dihapuskan kecuali hanya satu cara yang masih dibenarkan, yakni melalui peperangan. Namun, cara terakhir ini pun, diperbolehkan jika memenuhi dua syarat:

Pertama, jika tawanan ketika ditawan tersebut bukan seorang muslim. Jika dia seorang muslim, sekalipun berada di pihak musuh, maka tidak dibenarkan dijadikan sebagai budak.

Kedua, jika imam atau pemimpin sudah menetapkan bahwa tawanan tersebut menjadi budak. Namun, selama pemimpin tidak menetapkan demikian, maka dia tetap dipandang sebagai orang merdeka.

Betapa perhatiannya Islam dalam mempersempit upaya perbudakan ini, sampai disebutkan dalam pendapat para fuqaha, bahwa jika didapatkan seorang anak yang diakui oleh seorang Nashrani bahwa dia adalah anaknya, sementara juga diakui oleh seorang muslim bahwa dia adalah budak belian nya, maka keputusannya adalah anak tersebut milik orang Nashrani. Mengapa? Karena ketika diputuskan milik orang Nashrani, anak tersebut berupa orang merdeka (anaknya), sedangkan kalau ditetapkan untuk seorang muslim, anak itu akan menjadi budak nya. Ini sungguh sesuatu yang luar biasa.

2. Terdapat banyak ayat al-Qur’an ataupun hadits yang melarang perbudakan. Dalam surat Muhammad ayat 4 misalnya Allah berfirman:

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا

Artinya: “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu Telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir”.

Dalam ayat ini, secara tidak langsung Allah menegaskan tidak ada perbudakan dalam Islam. Karena Allah dalam ayat ini justru mengatakan bahwa para tawanan itu dapat bebas dengan dibebaskan begitu saja atau dibebaskan dengan tebusan, dan tidak dikatakan ‘atau dijadikan budak’. Ini sekali lagi, menegaskan tidak adanya perbudakan dalam Islam.

Bahkan dalam kitab Zâdul Ma’âd, Ibnu Qayyim menegaskan bahwasannya Rasulullah saw tidak pernah menjadikan orang merdeka satupun sebagai budak belian.

Dalam hadits pun demikian. Rasulullah saw misalnya pernah bersabda: “Sejahat-jahat manusia adalah orang yang menjual manusia”. Dalam hadits lain Rasulullah saw juga bersabda: “Maukah aku kabarkan kepada kalian, sejahat-jahat di antara kalian?” Para sahabat menjawab: “Tentu Ya Rasulullah”. Rasul bersabda kembali: “Yaitu orang yang memukul budaknya”.

3. Dalam ajaran Islam membebaskan budak belian merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan, bahkan pelakunya akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Dalam al-Qur’an surat al-Balad ayat 8-14, misalnya Allah menegaskan:

أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ (8) وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ (9) وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (10) فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14)

Artinya: “Bukankah kami Telah memberikan kepadanya dua buah mata, Lidah dan dua buah bibir. Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?  (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, Atau memberi makan pada hari kelaparan” (QS. Al-Balad: 8-13).

Dalam ayat lain, surat al-Baqarah ayat 177, Allah juga berfirman:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ

Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya..” (QS. Al-Baqarah: 177).

4. Sebagaimana disebutkan oleh penanya di atas, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran hukum yang dendanya berupa membebaskan budak. Misalnya, bagi yang melanggar sumpah seperti dalam suurat al-Maidah ayat 89, orang yang membunuh seorang mukmin karena kesalahan sebagaimana dalam surat an-Nisa ayat 92, suami yang menzhihar isterinya (QS. Al-Mujadilah ayat 3), atau juga yang lainnya.

Ini semua di antara dalil bahwa Islam menghapuskan perbudakan melalui aturan-aturannya.

Lalu menyangkut seorang majikan yang menggauli budak perempuannya, sepengetahuan saya, memang tidak dilarang juga tidak dihapuskan. Artinya, ketentuan ini masih terus berlanjut dan dibenarkan. Namun, meski demikian, ada implikasi hukum lain berkaitan dengan budak perempuan atau anak dari budak tersebut.

Dalam Islam, seorang majikan yang menggauli budak perempuannya, lalu hamil, maka majikan tersebut tidak diperbolehkan (haram) menjual, menghibahkan budak perempuan tersebut. Bahkan, ketika majikannya itu meninggal, budak perempuan tersebut menjadi bebas dengan sendirinya (merdeka). Demikian juga dengan anak yang dilahirkannya, dengan otomatis menjadi orang merdeka, bukan lagi sebagai budak belian. Dan ini sangat berbeda dengan tradisi Arab pada saat Islam datang, di mana budak perempuan tersebut termasuk anaknya, tetap dan selamanya menjadi budak belian, dan majikan bebas berbuat apapun dengan mereka.

Lalu berkaitan dengan hak-hak budak tersebut, Islam bukan lagi menambah atau mengurangi, akan tetapi menyamakan hak-hak mereka dengan hak-hak orang merdeka. Allah misalnya berfirman dalam surat an-Nisa ayat 35:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. An-Nisa: 36). 
 Dalam ayat lain Allah juga menegaskan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu” (QS. Al-Hujurat: 13).

Rasulullah saw juga mislanya pernah bersabda: “Siapa yang membunuh budaknya, maka kami akan membunuhnya, dan siapa yang melaparkan budaknya, maka kami akan melaparkannya”. Bahkan dalam sebuah hadits lainnya disebutkan, bahwa di antara wasiat terakhir Rasulullah saw ketika menjelang ajalnya adalah agar berbuat baik dan membebaskan budak belian. 

Demikian Pak Syafi’i yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam bis shawâb.
Aep Saepulloh D

0 komentar:

Post a Comment