BERDZIKIR DENGAN MENGGUNAKAN TASBEH, BOLEHKAH?


Pertanyaan

"Kang Ustadz ! kalau boleh ana minta sebait kisah/dalil/riwayat atau apa saja yang menerangkan bahw Rosululloh atau para Sahabat sering atau selalu menggunakan biji-bijian atau tashbe sebagai sarana atau alat dalam melaksanakan ibadah (berdzikir)

Yanto Zaenal Arifin
Bekasi



Jawaban

Hatur nuhun Ustadz Yanto atas pertanyaan luar biasa ini, jazaakallah khairal jazaa. Salam kanggo Mak Duleh, dan jamaah al-Fathonah di Bekasi. Nuhun.

Dalam bahasa Arab, Tasbeh dikenal dengan nama Subhah, sibhah, misbahah, tasâbîh dan lain sebagainya.

Sementara menyangkut hal boleh tidaknya berdzikir dengan menggunakan tasbeh, terdapat dua pendapat; antara yang membolehkan dan yang mentidakbolehkan. Untuk lebih jelasnya, berikut saya kemukakan kedua pendapat dimaksud.

Pendapat pertama, mengatakan tidak boleh, bahkan ada juga yang sampai mengatakan bid'ah dhalâlah (semoga tidak terlalu mudah mengeluarkan kata-kata bid'ah dhalalah untuk persoalan-persoalan furu'iyyah khilafiyyah). Menurut pendapat ini, berdzikir hendaknya menggunakan jari-jari tangan atau ruas jari tangan.

Di antara ulama yang berpendapat bahwa tasbih ini bid'ah dhalalah adalah Syaikh Albany. Dalam bukunya Silsilah al-Ahâdits ad-Dla'îfah (1/185) mengatakan:

السبحة بدعة لم تكن في عهد النبي صلى الله عليه وسلم بل حدثت بعده

Artinya: "Menggunakan tasbeh adalah bid'ah, karena hal itu tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw, dan terjadi setelah masa Rasulullah saw".

Masih dalam buku yang sama (3/48), Syaikh Albany juga berkata:

فهذا هو السنة في عد الذكر المشروع عده إنما هو باليد وباليمنى فقط، فالعد باليسرى أو باليد معا أو بالحصى كل ذلك خلاف السنة ولم يصح في العد بالحصى فضلا عن السبحة شيئ

Artinya: "Hadits ini menjadi bahwa dalam hal berdzikir, sunnahnya menggunakan tangan kanan saja. Berdzikir dengan menggunakan tangan kiri atau dengan kedua tangan bersama-sama (kanan dan kiri), atau menggunakan kerikil, semua itu menyalahi sunnah Rasul. Dan tidak ada satupun hadits shahih yang membenarkan berdzikir dengan menggunakan kerikil, apalagi menggunakan tasbeh".

Sejalan dengan pendapat Syaikh Albany, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaed, dalam bukunya yang berjudul as-Subhah Târikhuhâ wa Hukmuhâ (hal. 69), juga mengatakan:

هذا في حكم اتخاذ السبحة لعد الأذكار؛ ولذا فإنه تفريعا على أنها وسيلة محدثة، وبدعة محرمة؛ ولما فيها من التشبه بالكفرة، والاختراع في التعبد، فإنه لا يجوز فيما كان سبيلها كذالك تصنيعها، ولا بيعها ولا وقفيتها، إهداؤها وقبولها، ولا تأجير المحل لمن يبيعها؛ لما فيه من الإعانة على الإثم، والعدوان على المشروع

Artinya: "Demikianlah hokum menggunakan tasbih dalam berdzikir. Dengan demikian sangatlah jelas, bahwa tasbeh merupakan pelantara yang diada-adakan, juga bid'ah yang diharamkan, mengingat di dalamnya terdapat unsure menyerupai orang kafir, juga mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan ibadah. Apabila menggunakannya tidak diperbolehkan, maka demikian juga dengan memproduksinya juga tidak dibenarkan. Demikian juga dengan menjualnya, menghadiahkannya, menerimanya, juga menyewakan tempat yang akan dipakai untuk menjualnya, semua itu tidak dibenarkan. Karena hal itu berarti membantu dalam perbuatan dosa, dan menyalahi apa yang telah ditetapkan".

Di antara dalil dan hujjah yang dikemukakan pendapat pertama ini adalah:

عَنْ يُسَيْرَةَ قَالَتْ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ، وَاعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ، فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ، وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ)) [رواه الترمذي، وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ]

Artinya: "Yusairah berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami: "Bacalah oleh kalian tasbih (bacaan subhânallâh), tahlil (bacaan lâ ilâha illallâh) dan taqdîs (yakni bacaan subbûhun, quddûsun, robbul malâikati war rûh), serta gunakanlah jari jemari (untuk menghitung dzikir tersebut), karena jari-jari itu kelak akan ditanya dan akan diminta untuk berbicara (menjadi saksi). Janganlah kalian lalai untuk selalu mengingatNya, karena hal itu akan mengakibatkan kalian melupakan rahmat Allah" (HR. Turmudzi. Imam Turmudzi berkata: "Hadits ini adalah Hadits Gharib").

Selain itu, juga terdapat hadits di bawah ini:

عن سعيد بن جبير قال: رأى عمر بن الخطاب رجلا يسبح بتسابيح معه، فقال عمر: إنما يجزيه من ذلك أن يقول: سبحان الله ملء السموات والارض، وملء ما شاء من شئ بعد، ويقول: الحمد لله ملء السموات والارض، وملء ما شاء من شئ بعد، ويقول: الله أكبر ملء السموات والارض، وملء ما شاء من شئ بعد [رواه ابن أبي شيبة في مصنفه: 2/391]

Artinya: "Sa'id bin Jubair berkata: "Umar bin Khatab melihat seorang laki-laki bertasbih dengan menggunakan tasbih yang dibawanya. Umar lalu berkata: "Sesungguhnya lebih mencukupi baginya dari pada bertasbih menggunakan tasbih, ia membaca: "Subhânahllâh milus samâwâti wal ardh, wa mil'u mâ syâ'a min syai'im ba'd". Juga membaca: "Alhamdulillâh mil'us samâwâti wal ardh, wa mil'u mâ syâ'a min syai'im ba'd". Juga membaca: "Allâhu akbar, mil'us samâwâti wal ardh, wa mil'u mâ syâ'a min syai'im ba'd" (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, dalam Mushannafnya: 2/391).

Juga berdasarkan riwayat di bawah ini:

عن امرأة من بني كليب قالت: رأتني عائشة أسبح بتسابيح معي، فقالت: أين الشواهد؟ يعني الاصابع [أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه: 2/390]

Artinya: "Seorang perempuan dari Bani Kulaib berkata: 'Sayyidah Aisyah melihatku bertasbih dengan menggunakan tasbih yang ada padaku. Sayyidah Aisyah kemudian berkata: "Dimana saksi-saksi itu? Maksudnya mengapa tidak menggunakan jari-jari tangan" (HR. Ibnu Abi Syaibah, dalam Mushannafnya: 2/390).

Selain itu, pendapat pertama ini juga berdalil dengan atsar-atsar yang terdapat dalam kitab al-Bida' Wan Nahyu 'Anha karangan Ibn Widhah al-Qurthuby. Di antaranya adalah atsar di bawah ini:

عن الصلت بن بهرام قال: مر عبد الله بن مسعود بامرأة معها تسابيح تسبح به، فقطعه وألقاه، ثم مر برجل يسبح بحصى فضربه برجله، ثم قال: لقد سبقتم، ركبتم بدعة ظلما ولقد غلبتم أصحاب محمد علما [أخرجه ابن وضاح القرطبي في كتابه البدع والنهي عنها ص (
40)].

Artinya: Shult bin Bahram berkata: "Abdullah bin Mas'ud melewati seorang perempuan yang sedang bertasbih menggunakan tasbih yang dibawanya. Abdullah bin Mas'ud lalu memotong dan melemparkannya. Kemudian Abdullah bin Mas'ud juga melewati seorang laki-laki yang sedang bertasbih menggunakan kerikil-kerikil, Abdullah lalu menendang dengan kakinya, sambil berkata: "Sungguh kamu telah kamu telah melakukan perbuatan bid'ah yang tercela. Dan sungguh kamu telah mengalahkan keilmuan para sahabat Rasulullah saw (maksudnya menyindir, karena telah menggunakan tasbih, padahal tidak dilakukan oleh para sahabat Rasul)" (Diriwayatkan oleh Ibn Widhah al-Qurthuby dalam bukunya al-Bida' Wan Nahyu 'Anha, hal 40).

Hanya saja, dalil-dalil dan atsar-atsar yang dikemukakan pendapat pertama ini, umumnya, oleh para ahli hadits dinilai sebagai hadits Dhaif.

Hadits pertama misalnya, selain diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, juga diriwayatkan oleh yang lainnya, seperti Abu Daud (hadits nomor 1501), Thabrani dalam al-Mu'jam al-Ausath (hadits nomor 5012), Imam Hakim dalam Mustadrak-nya (1/547), Imam Ahmad dalam Musnadnya (6/370), juga Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (2/389).

Semuanya dari jalur Hani bin Utsman dari ibunya, Humaidhah, dari neneknya Yusairah binti Yasir dari Rasulullah saw.

Hani bin Utsman dinilai oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam bukunya at-Tajrid yang merupakan lampiran dari buku Mizanul I'tidal, sebagai rawi yang diterima (maqbul) apabila dikuatkan oleh yang lainnya. Jika tidak, maka ia adalah rawi yang lemah (layyin).

Kemudian ibunya yang bernama Humaidhah dinilai oleh Imam ad-Dzahaby mengkategorikannya sebagai wanita yang tidak dikenal (minan nisâ al-majhûlat). Dengan demikian, hadits di atas dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadits Dhaif.

Sedangkan menurut ulama lainnya, seperti menurut Imam as-Suyuthi, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Syaukani dalam Nailul Authar nya (2/366), sanad hadits tersebut adalah Shahih.

Kalaupun hadits di atas shahih, tidak berarti sebagai hujjah tidak bolehnya menggunakan tasbih. Karena, hadits di atas hanya mengingatkan bahwa diantara cara berdzikir itu adalah dengan menggunakan jari-jari tangan.

Adapun alasan bahwa dzikir dengan jari-jari tangan akan ditanya kelak di hari kiamat, maka demikian juga seandainya dia menggunakan tasbih. Karena dzikir dengan tasbih juga menggunakan jari-jari tangan. Oleh karena itu, baik berdzikir dengan jari-jari tangan ataupun menggunakan tasbih, keduanya tetap dipandang sebagai berdzikir dengan jari-jari tangan, dan keduanya akan menjadi saksi kebaikan bagi yang melakukannya kelak di akhirat.

Demikian, di antara dalil pendapat yang membolehkan menggunakan tasbih dalam berdzikir.

Riwayat kedua juga demikian. Riwayat Sa'id bin Jubair tersebut diriwayatkan dari jalur Muhammad bin Fadhl dari Waqa' bin Iyas dari Sa'id bin Jubair dari Umar bin Khattab.

Dalam kitab Tahdzîbul Kamâl (3/145) disebutkan, bahwa Waqa' bin Iyas adalah seorang yang lemah (layyinul hadits). Bukan hanya itu, Sa'id bin Jubair yang meriwayatkan hadits di atas juga tidak bertemu dan tidak mendengarnya dari Umar bin Khattab, karena Sa'id bin Jubair lahir setelah Umar bin Khattab meninggal. Dengan demikian hadits tersebut masuk kategori hadits Munqathi dan Mursal, yang merupakan di antara bagian dari Hadits Dhaif.

Hadits kedua juga demikian. Hadits tersebut diriwayatkan dengan jalan Yahya bin Sa'id al-Qattan dari Sulaiman bin Tharkhân at-Taimy dari Tharif bin Mujâlid al-Hujaimy dari seorang perempuan dari Bani Kulaib. Hampir semua rawi tersebut tsiqat, hanya saja seorang perempuan yang disebutkan dalam hadits di atas, oleh para ahli hadits tidak diketahui siapa dia dan bagaimana dia. Karenanya, ia juga termasuk kategori dhaif.

Sedangkan atsar terakhir dipandang sebagai hadits dhaif, karena Shult bin Bahram tidak bertemu dengan Abdullah bin Mas'ud. Ia hidup setelah Ibnu Mas'ud meninggal dunia, karenanya juga dipandang sebagai Hadits Munqathi'.

Selain riwayat-riwayat di atas, juga masih banyak riwayat-riwayat lain yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama ini, namun umumnya adalah dhaif. Riwayat-riwayat dimaksud dapat dilihat dalam buku al-Bida' Wan Nahyu 'Anha karangan Ibn Widhah al-Qurthuby.

Pendapat kedua, mengatakan, bahwa berdzikir dengan menggunakan tasbih diperbolehkan, bahkan untuk keadaan tertentu dianjurkan. Pendapat ini merupakan pendapat banyak ulama, baik ulama terdahulu maupun ulama belakangan, sebagaimana akan dijelaskan di bawah nanti.
Di antara dalil dan hujjah pendapat kedua ini adalah:

عن أم المؤمنين صَفِيَّةَ بنت حيي قالت: دَخَلَ عَلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَبَيْنَ يَدَىَّ أَرْبَعَةُ آلاَفِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، فَقُلْتُ: لَقَدْ سَبَّحْتُ بِهَذِهِ. فَقَالَ: ((أَلاَ أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ)). فَقُلْتُ: بَلَى، عَلِّمْنِى. فَقَالَ: (( قُولِى: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ)). [رواه الترمذي]

Artinya: "Dari Ummul Mu'minin, Shafiyyah binti Huyay (isteri Rasulullah saw) berkata: 'Suatu hari Rasulullah saw masuk ke rumah saya, sementara di depanku ada empat ribu biji kurma yang aku pakai untuk bertasbih dengannya. Aku berkata: "Aku telah bertasbih (berdzikir) dengan menggunakan biji-biji ini". Rasulullah saw kemudian bersabda: "Maukah aku ajarkan kepadamu, bacaan yang fadhilahnya melebihi dzikir yang telah kamu lakukan itu?" Aku menjawab: "Tentu, mau sekali. Ajarkan kepada saya, ya Rasulullah". Rasulullah saw bersabda kembali: "Bacalan dzikir berikut: subhânallâh 'adada kholqih (maha suci Allah sebanyak jumlah makhlukNya)." (HR. Turmudzi).

Terjadi perbedaan penilaian para ulama tentang kesahihan hadits di atas. Dalam Tahdzîbut Tahdzîb (11/17) disebutkan, bahwa dalam sanadnya ada rawi yang diperdebatkan, yaitu bernama Hasyim bin Sa'id al-Kufy. Ibnu Mu'in menilainya: tidak mengapa (laisa bisya'i). Sedangkan Abu Hatim menilainya sebagai rawi lemah (dhaiful hadits). Bahkan Syaikh Albany dalam bukunya Dhaif at-Turmudzi menilainya sebagai Hadits Munkar.

Sedangkan sebagian ulama lainnya menilai hadits tersebut sebagai Hadits Shahih. Syaikh Ali al-Qâri misalnya, dalam bukunya Mirqâtul Mashâbîh, sebagaimana dikutip oleh Mubarakfury dalam Tuhfatul Ahwadzi, mengatakan: "Hadits ini merupakan dalil dan hujjah shahih tentang bolehnya menggunakan tasbeh". Demikian juga Ibnu Hajar al-Asqalany juga menilai hadits tersebut dari semua jalurnya sebagai Hadits Hasan, sebagaimana dinukil oleh Ibnu 'Allan dalam al-Futûhat ar-Rabbâniyyah 'Alal Adzkar an-Nawawiyyah (1/245).

Selain hadits di atas, hadits lainnya tentang kebolehan menggunakan tasbeh adalah hadits di bawah ini:

عن سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ: ((أَلاَ أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الأَرْضِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ)).[رواه الترمذي، وقَالَ:َهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ]

Artinya: "Dari Sa'ad bin Abi Waqash, bahwasannya ia bersama Rasulullah saw pernah menjumpai seorang perempuan yang di hadapannya terdapa biji-biji kurma atau kerikil, yang dipakai untuk berdzikir. Rasulullah saw kemudian bersabda: "Maukah aku beritahukan kepadamu yang lebih mudah dan lebih baik dari ini semua? Bacalah: subhânallâh 'adada mâ kholaqa fis samâ, wa subhânallâh 'adada mâ kholaqo fil 'ardl, wa subhânallâh 'adada mâ baina dzâlik, wa subhânallâh 'adada mâ huwa khôliq, wallâhu akbar mitsla dzâlik, wal hamdulillâh mitsla dzâlik, wa lâ haula walâ quwwata illâ billâh mitsla dzâlik (mahasuci Allah sebanyak jumlah makhlukNya di langit. Mahasuci Allah sebanyak makhlukNya di bumi. Mahasuci Allah sebanyak makhlukNya di antara langit dan bumi. Mahasuci Allah sebanyak sifatnya sebagai Maha Pencipta. Allah Maha Besar seperti jumlah sebelumnya. Segala puji bagi Allah sebanyak jumlah sebelumnya. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan kekuatan dan daya dari Allah sebanyak jumlah sebelumnya)" (HR. Turmudizi, dan Imam Turmudzi mengatakan: "Hadits ini Hadits Hasan Gharib dari Hadits Sa'ad").

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Turmudzi juga oleh Imam Abu Daud dalam Sunan nya (hadits nomor 1500), dengan jalur sanad: dari Sa'id bin Abi Hilal, dari Khuzaemah, dari Aisyah binti Sa'ad bin Abi Waqash dan Sa'ad bin Abi Waqash. Sebagian riwayat lain tidak menyebutkan rawi Khuzaemah.

Para ulama ahli hadits juga berbeda pendapat dalam menilai hadits di atas. Syaikh Albany dalam Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah, mengatakan bahwa Khuzaemah ini adalah rawi yang tidak dikenal (majhul). Demikian juga penuturan Imam ad-Dzahaby dalam Mizan al-I'tidal nya, ia mengatakan: "Khuzaemah tidak dikenal".

Sebagian ulama lain menilainya sebagai Hadits Shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany misalnya, sebbagaimana dikutip oleh Ibnu 'Allan dalam al-Futûhat ar-Rabbâniyyah 'Alal Adzkar an-Nawawiyyah (1/244), mengatakan: "Hadits ini adalah Hadits Shahih, dan rawi-rawinya adalah Rawi-rawi Shahih, kecuali Khuzaemah saja. Ia tidak diketahui nasab keturunan dan keadaannya. Dan tidak ada yang meriwayatkan daripadanya selain Sa'id bin Abi Hilal". Ibnu Hibban menyimpan Khuzaemah ini sebagai rawi Tsiqat.

Demikian juga Hadits ini dinilai sebagai Hadits Shahih oleh Imam Hakim. Sedangkan dalam kitab at-Targhib wat Tarhib (2/360), al-Mundziri mengatakan: "Sanad hadits ini adalah Shahih, atau Hasan atau yang mendekati keduanya".

Setelah mengemukakan dua hadits di atas yaitu hadits Sa'ad bin Abi Waqash dan hadits Shafiyyah binti Huyay, Imam as-Syaukany dalam bukunya Nailul Authar (2/366) mengatakan:

والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى، وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى الله عليه وسلم للمرأتين على ذلك، وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز، قد وردت بذلك آثار

Artinya: "Kedua hadits terakhir di atas menunjukkan bolehnya berdzikir dengan menggunakan biji-biji (kurma atau sejenisnya) ataupun kerikil-kerikil kecil. Demikian juga semua itu menunjukkan bolehnya menggunakan tasbeh, karena tidak ada bedanya (antara berdzikir dengan biji-biji atau kerikil dengan berdzikir menggunakan tasbeh). Semua itu karena pengakuan Rasulullah saw terhadap dua perempuan yang melakukan dzikir menggunakan biji-bijian dan kerikil. Tidak adanya larangan dari Rasulullah, juga adanya petunjuk untuk menggunakan yang lebih utama, tidak berarti meniadakan kebolehan menggunakan tasbeh tersebut. Juga banyak atsar yang menunjukkan kebolehan menggunakan tasbeh tersebut".

Imam as-Syaukani juga kemudian menuturkan beberapa atsar para sahabat dan tabi'in yang menggunakan tasbeh dalam berdzikirnya, sebagai penguat akan bolehnya tasbeh ini.

Mengingat Rasulullah saw dalam hadits di atas tidak melarang bahkan membolehkan berdzikir dengan menggunakan tasbeh ini, maka tidak heran apabila banyak sahabat dan tabi'in yang juga berdzikir dengan menggunakan tasbeh. Berikut saya kutipkan riwayat-riwayat atau atsar-atsar dari para sahabat dan tabi'in dimaksud.

1.Dalam Musnad Imam Ahmad, bab Zuhd, dikisahkan bahwa Abu Shafiyyah, salah seorang sahabat Rasul, biasa bertasbih dengan menggunakan kerikil-kerikil. Dalam riwayat Imam Baihaki juga disebutkan, bahwa Abu Shafiyyah mempunyai kasur yang dilapisi oleh kulit binatang, kemudian dibawakan kepadanya kantong yang berisi kerikil-kerikil, lalu ia bertasbih dengan menggunakan kerikil-kerikil itu sampai pertengahan siang. Kemudian ia bangkit, dan setelah shalat, ia kembali bertasbih dengan menggunakan kerikil-kerikil itu sampai sore hari.

2.Dalam riwayat Abu Daud juga disebutkan bahwa Abu Hurairah mempunyai kantong yang berisi kerikil-kerikil atau biji-biji kurma. Ia duduk di atas ranjang sambil berdzikir dengan kerikil-kerikil itu. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ikrimah juga disebutkan, bahwa Abu Hurairah mempunyai kain yang diikat dalam bentuk bulatan-bulatan kecil (benjulan-benjulah) sebanyak seribu benjulan. Abu Hurairah tidak tidur sebelum bertasbih sebanyak dua belas ribu kali tasbih.

3.Dalam Musnad Imam Ahmad bab Zuhd, juga disebutkan, bahwa Abu Darda, seorang sahabat Rasulullah saw, mempunyai tas yang berisi biji-biji kurma 'Ajwa. Apabila selesai shalat Shubuh, ia mengeluarkan satu persatu biji-biji tersebut, kemudian bertasbih dengan menggunakannya, sampai biji-biji itu habis.

4.Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah disebutkan, bahwa Sa'ad bin Abi Waqash juga Abu Sa'id al-Khudry, biasa bertasbih dengan menggunakan kerikil atau biji-biji kurma.

5.Demikian juga Ibnu Sa'ad dalam at-Thabaqat nya menukil riwayat dari Jabir, dari seorang perempuan bahwasannya Fatimah binti Husain bin Ali bin Abi Thalib, biasa bertasbih dengan menggunakan benjulan-benjulan yang dibuatnya dalam kain.

6.Imam as-Suyuthi dalam al-Hawi Lil Fatawa (2/4, 5) menukil sebuah riwayat dari Umar al-Maliki bahwasannya ia melihat Imam Hasan al-Bashri membawa tasbeh di tangannya. Ia lalu bertanya: "Wahai guruku, dengan posisi Anda yang luar biasa dalam beribadah dan lainnya, apakah anda masih terus membawa tasbih?" Imam Hasan al-Bashri menjawab: "Sesuatu yang biasa kami pergunakan sejak awal, tidak akan ditinggalkan sampai akhir. Saya sangat mencintai berdzikir dengan hati, tangan dan lidah saya".

Dengan banyaknya riwayat di atas, tidak mengherankan apabila sangat banyak ulama yang membolehkan menggunakan tasbeh ini.

Selain Imam as-Syaukani di atas, ulama lain yang membolehkan menggunakan tasbeh adalah Ibnu Taimiyyah. Dalam Majmu' al-Fatawa (22/506) nya, beliau berkata:

وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبي صلى الله عليه وسلم للنساء : { سبحن واعقدن بالأصابع فإنهن مسئولات مستنطقات } . وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن، وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك، وقد رأى النبي صلى الله عليه وسلم أم المؤمنين تسبح بالحصى وأقرها على ذلك، وروي أن أبا هريرة كان يسبح به.

Artinya: "Bertasbih dengan menggunakan jari-jari tangan adalah sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah saw kepada para wanita: "Bertasbihlah kalian dan hitunglah dengan menggunakan jari-jari tangan, karena jari-jari itu akan dimintai pertanggungjawaban dan akan berbicara (menjadi saksi). Adapun bertasbih dengan menggunakan biji kurma, kerikil atau sejenisnya, maka sesuatu yang bagus. Hal ini karena banyak sahabat yang telah melakukannya. Dan Rasulullah saw pun pernah melihat Ummul Mukminin (Hafsah) bertasbih dengan menggunakan kerikil-kerikil kecil, dan Rasulullah saw membolehkannya. Juga diriwayatkan bahwa Abu Hurairah, juga biasa berdzikir dengan menggunakan kerikil-kerikil kecil".

Demikian juga dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Dalam bukunya al-Wabil as-Shayyib, fasal 68, (hal 132), mengatakan:

الفصل الثامن والستون: في عقد التسبيح بالأصابع وأنه أفضل من السبحة

Artinya: "Fasal Keenam puluh Delapan: "Tentang Bertasbih dengan menggunakan jari-jari tangan lebih utama dari pada menggunakan tasbeh".

Ibnu Qayyim kemudian menuliskan hadits Abdullah bin Amer bin Ash, dan hadits Yusairah.
Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah di antara ulama bermadzhab Hanbali.

Sedangkan dalam Madzhab Syafi'i pun demikian. Imam as-Suyuthi dalam bukunya al-Hawi Fi al-Fatawa (2/5), setelah menuturkan beberapa hadits dan atsar, ia berkata:

فانظر يا أخي إلى هذه الآلة المباركة الزاهرة وما جمع فيها من خير الدنيا والآخرة، ولم ينقل عن أحد من السلف ولا من الخلف المنع من جواز عد الذكر بالسبحة، بل كان أكثرهم يعدونه بها ولا يرون ذلك مكروها
.
Artinya: "Perhatikan saudaraku alat penuh berkah dan luar biasa ini (maksudnya tasbeh), yang dapat mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat. Tidak ada riwayat dari satu orang ulama pun, baik ulama salaf maupun khalaf yang melarang bolehnya berdzikir dengan menggunakan tasbeh ini. Bahkan sebaliknya, sebagian besar mereka membolehkannya, dan mereka tidak memandangnya sebagai perbuatan dibenci (makruh)".

Bahkan, dalam kaitan dengan bolehnya menggunakan tasbeh ini, Imam Jalaluddin as-Suyuthi menulis sebuah karya khusus berjudul al-Minhah fis Sibhah. Demikian juga dengan Syaikh Muhammad bin Allan as-Shiddiqy menulis buku berjudul Îqâdul Mashâbîh Li Masyru'iyyati Ittikhâd al-Masâbîh. Juga al-Allamah Abul Hasanat al-Laknuny menulis satu buku berjudul Nuzhatul Fikr Fi Subhatid Dzikr.

Ibnu hajar al-Haitami, seorang ulama terkenal dalam Madzhab Syafi'i, dalam bukunya berjudul al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (1/152), ketika ditanya: "Apakah tasbeh itu ada dasarnya dalam hadits?", Ibnu Hajar menjawab: "Iya, ada. Dan Imam as-Suyuthi sudah mengarang buku khusus seputar itu. Di antaranya adalah hadits dari Ibnu Umar….".

Dalam Madzhab Hanafi, juga demikian. Ibnu Abidin dalam Hasyiyah nya yang lebih dikenal dengan Hasyiyah Ibn Abidin (2/421), mengatakan: "Fasal: Tidak mengapa menggunakan tasbeh, selama tidak untuk riya'.

Kemudian ia menjelaskan dengan mengatakan:

ودليل الجواز ما رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن حبان والحاكم وقال صحيح الإسناد عن سعد بن أبي وقاص ...... فلم ينهها عن ذلك، وإنما أرشدها إلى ما هو أيسر وأفضل ولو كان مكروها لبين لها ذلك

Artinya: "Dalil bolehnya (menggunakan tasbeh ini) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasai, Ibnu Hibban, Imam Hakim dan ia mengatakan: "Hadits tersebut sanadnya Shahih", dari Sa'ad bin Abi Waqash……Rasulullah saw tidak melarang hal itu (menggunakan tasbeh). Rasul hanya menunjukkan kepada kita mana yang paling mudah dan paling utama. Dan jika tasbeh itu dibenci, Rasulullah saw pasti akan menjelaskannya".

Demikian, penjelasan para ulama tentang tasbeh. Dan hemat penulis, wallahu a'lam bis shawab, pendapat kedua lebih kuat, artinya tasbeh diperbolehkan untuk dipergunakan.

Dari pemaparan di atas, perlu juga saya sampaikan beberapa hal penting dalam masalah ini:

1.Bahwa penggunaan tasbeh sejak masa Rasulullah saw sudah ada dan dikenal, hal ini nampak di antaranya dari apa yang dilakukan oleh isteri Rasulullah saw Shafiyyah binti Huyay.

2.Apakah Rasulullah saw juga menggunakannya? Paling tidak terdapat dua riwayat yang menejelaskan hal itu.

Riwayat pertama diriwayatkan oleh Imam al-Jurjani dalam bukunya Tarikh Jurjan (hal 108), hadits dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw biasa bertasbih dengan menggunakan kerikil-kerikil kecil. Hanya hadits ini sangat lemah, karena di dalamnya ada rawi yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Rabi'ah al-Qudamy, yang dinilai oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam al-Lisan: sebagai rawi munkar dan selalu membawa hal yang tidak baik. Karena jarh (cela) yang disampaikan oleh para ahli hadits sangat besar dan mendasar, maka hadits ini, hemat saya, sebaiknya kita tinggalkan, di samping tidak ada penguat dari jalur sanad lainnya.

Kedua, adalah yang diriwayatkan oleh Imam ad-Dailamy dalam al-Firdaus (nomor hadits 6765), dari Imam Ali bin Abi Thalib, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik alat untuk berdzikir adalah tasbeh....”. Hanya saja, hadits ini dalam sanadnya ada rawi Muhammad bin Harun Ibnu Isa bin Manshur al-Hasyimi, yang dinilai oleh al-Khatib, sebagaimana ditulis dalam bukunya Tarikh Baghdad (7/403), bahwa dia seorang rawi yang dituduh suka membuat hadits palsu (muttaham bil wadh'i). Karena jarh terhadap rawi ini juga berat, maka hadits ini juga, hemat saya, sebaiknya ditinggalkan.

Dengan demikian, hemat saya, tidak ada hadits yang shahih, dalam penilaian saya, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw juga pernah menggunakan tasbeh dalam berdzikirnya.

3.Meskipun Rasulullah saw tidak menggunakannya, namun tidak berarti tasbeh tidak diperbolehkan. Rasulullah saw, justru telah membenarkan dan mengiyakan penggunaan tasbeh ini, sebagaimana telah dipaparkan di atas. Dalam istilah para ulama Rasulullah saw telah meng-iqrar-kannya, artinya membenarkannya, sekalipun beliau sendiri, tidak menggunakannya.

4.Lalu mana yang paling utama, berdzikir dengan tasbeh atau dengan jari tangan? Hemat saya, yang paling utama adalah yang paling khusyu', dan ikhlas karena Allah. Hadits yang mengatakan, bahwa jari-jari tangan akan ditanya dan menjadi saksi kelak, hemat saya, bukanlah sebagai dalil bahwa berdzikir dengan tangan lebih mulia dan lebih afdhal. Karena, seseorang yang berdzikir dengan menggunakan tasbeh pun, dia juga berdzikir dengan menggunakan jari-jari tangannya, dan termasuk dalam hadits di atas. Oleh karena itu, yang paling afdhal adalah ketika dia bisa khusyu, dan ikhlas karena Allah, baik ia menggunakan jari tangan ataupun menggunakan tasbeh. Hanya, jika berdzikir dengan menggunakan jari tangannya ini dimaksudkan untuk mengikuti Rasulullah saw, maka orang tersebut mempunyai nilai plus pahala, karena niatnya itu, ingin mengikuti Rasulullah saw.

5.Perlu juga saya sampaikan, semoga para ustadz di mana pun berada tidak terlalu mudah mengatakan bid'ah untuk suatu masalah furu'iyyah khilafiyyah apalagi ada dasarnya. Hal ini hemat saya adalah sebuah kesalahan. Menganggap pendapat sendiri paling benar, dan menuduh pendapat yang tidak sepaham dengan cap bid'ah dhalalah, juga adalah suatu kekeliruan. Menghormati pendapat lainnya adalah suatu kemuliaan. Dan ini sudah dicontohkan oleh para sahabat, juga para ulama termasuk Imam Madzhab.

6.Semoga masalah-masalah kecil seperti ini, juga masalah-masalah fiqih furu'iyyah khilafiyyah lainnya tidak menyebabkan permusuhan, kebencian, apalagi perpecahan di antara ummat Islam, hanya karena berbeda pendapat. Sikap saling menghormati, menghargai, tidak merasa pendapat sendiri paling benar, adalah sikap yang perlu kita pupuk saat ini khususnya di masyarakat muslim Indonesia khususnya, dan dalam kancah dunia pada umumnya. Karena Persatuan dan kesatuan ummat Islam, saling menghargai, saling menghormati perbedaan, lebih utama, lebih besar dan lebih penting dari pada persoalan tasbeh atau perbedaan dalam masalah furu'iyyah ini.

Demikian, semoga ulasan sedikit ini menjadi di antara pengantar untuk lebih memahami persoalan tasbeh. Yang benar, tentu datangnya dari Allah dan RasulNya, sedangkan yang salah dan keliru, datang dari kebodohan saya sendiri dan dari syaitan, serta Allah dan RasulNya terbebas dari hal tersebut. Hadânallâh wa iyyâkum ilâ mâ fîhi khairun lil islâm wal muslimîn. Wallahu a'lam bis shawab.

Katamea, Kairo, 5 Juli 2010,
Hormat abdi,

Aep Saepulloh Darusmanwiati

Email: aepmesir@yahoo.com



0 komentar:

Post a Comment