PERTANYAAN
Assalamu'alaikum.
Mang Aep ada beberapa pertanyaan,
1. Manakah yang rajih (lebih kuat), untuk perempuan yang sedang haid. Bolehkah masuk ke mesjid atau di larang? Sementara Ada yang mengatakan boleh, karena sekarang sudah ada pembalut. Sedangkan Ulama dahulu melarangnya, karena dikhawatirkan adanya darah haid yang menetes.
2. Perempuan yang sedang haid bagaimana hukumnya mengikuti tahlilan, tawasul atau memimpin tawasul, karena biasanya yang dibaca berupa ayat-ayat al Qur'an?
3. Bagaimana hukumnya anak lelaki yang belum di khitan bila masuk ke mesjid. Apakah dilarang? Kalau memang dilarang, apa alasannya? apakah karena anak tersebut membawa najis?
Hatur nuhun kana waktosna.
-Cecep-
Kairo
JAWABAN
Wa'alaikum salam
Hatur nuhun Kang Cecep. Sebenarnya ulama yang membolehkan wanita masuk ke dalam mesjid itu, bukan semata karena menetes dan tidaknya darah haid, tapi ada dalil lain yang lebih kuat.
Memang Jumhur, sampai 4 imam madzhab berpendapat tidak diperbolehkan masuk ke masjid, kecuali karena darurat, atau dalam redaksi al-Qur'annya 'abiris sabil' (QS. Anisa: 43). Para imam madzhab menafsirkan kata ash-shalat dalam ayat tersebut dengan maudhi'us shalah (tempat shalat atau mesjid). Karena itu, tidak dibenarkan wanita haid atau berhadats besar masuk ke dalam mesjid, kecuali sekedar saja atau ada keperluan darurat, dengan rincian yang sangat panjang sebagaimana disampaikan oleh beliau-beliau dalam buku fiqih.
Namun, Ibnu Hazm melihatnya lain. Wanita haid dan hadats besar diperbolehkan masuk ke dalam mesjid bahkan berdiam lama, misal mendengarkan pengajian, juga dipersilahkan. Pertama, karna kata ash-shalah dalam ayat tersebut harus dipahammi sebagai shalat itu sendiri bukan, tempat shalat.
Kedua, hadits-hadits yang mengatakan bahwa wanita haid nifas berhadats besar tidak boleh masuk mesjid, semuanya dhaif.
Ketiga ada hadits lain justru sebaliknya, bahwa wanita haid dan nifas boleh diam lama di mesjid. Yaitu hadits riwyaat Bukhari, bahwa Walidah Sauda' seorang wanita baduy yang masuk islam, kata Sayyidah Aisyah wanita tersebut mempunyai rumah, tenda di dalam mesjid dan tinggal selamanya. Ini artinya, pasti dia pernah haid, nifas dan lainnya, namun Rasul tidak melarangnya, rasul tetap membiarkannya tinggal di mesjid. Karena itu, diperbolehkan. Untuk lebih jelasnya Mang cecep dapat lihat di kitab Ibnu Hazm, al-Muhalla. Untuk hal ini, abdi lebih condong ke pendapat Ibnu Hazm, terlebih konteks sekarang untuk ibu-ibu yang biasa ada pengajian di mesjid, sehingga tidak ada alasan tidak ikut pengajian karena lagi halangan. Mengaji adalah sebuah kewajiban dan sangat penting, sementara diamnya wnaita haid di mesjid masih diperdebatkan, bahkan ada banyak ulama yang membolehkan.
Wanita haid dan nifas yang disepakati ulama dilarang adalah shalat dan puasa. Adapun memmbaca al-Qur'an, jumhur melarangnya, yang lain ada yang membolehkannya. Kata membaca pun multi pendapat, ada yang mengatakan membaca dengan melihat ke mushaf, jadi kalau melalui hafalan tidak mengapa, karena tidak disebut membaca al-Qur'an, tapi hafalan al-Qur'an, karena usahanya yang sudah menghafal. Sementara dzikir, doa dan lainnya sangat diperbolehkan, bahkan dianjurkan bagi wanita haid dan nifas.
Jadi untuk kasus ini, kita lihat kondisi. Bila tidak ada yang menggantikan ibu tersebut untuk pimpin doa dan tahlil, maka ibu haid tersebut tidak mengapa untuk memimpin tahlilan, hanya si ibu harus berwudhu lebih dahulu. Namun bila ada yang lain yang dpat menggantikan pimpin tahlil, maka sebaiknya yang lain saja. Bukan masalah karena membaca ayat al-Qur'annya (karena itu bukan baca tapi sudah hafalan), tapi menyangkut doanya, agar lebih afdhal, karena yang memimpin doa dan tahlil nya seorang yang suci. Demikian.
Adapun anak-anak yang belum sunat, silahkan saja untuk masuk mesjid, bahkan hemat abdi dianjurkan, agar mereka lebih mengenal agamanya. Adapun karena membawa najis, ini alasan kirang tepat. Karena yang namanya najis itu yang nampak, kelihatan, tapi kalau tidak kelihatan, tidak tahu, tentu tidak mengapa. Apalagi kalau alasanya najis di ujung dzakarnya yang belum disunat, ini sangat tidak tepat. Karena najisnya tidak nampak, kecuali kalau si anak tersebut jelas-jelas pipis (buang air) di masjid.
Mengapa demikian? Karena dalam banyak hadits, Rasulullah saw biasa membawa Hasan dan Husain yang masih kecil ikut shalat. Bahkan, Rasul dinaikin oleh Imam Husain, ketika beliau sujud, dan karenanya Rasul melamakan sujud beliau. Kalau alasannya karena najis, tentu Rasul akan mengulang shalatnya, atau tidak akan membolehkan Imam Hasan dan Husain masuk mesjid. Rasul tidak demikian, Demikian juga dengan putra putri sahabat-sahabat Rasul lainnya. Demikian mang cecep dan semoga jelas.
Nuhun mang Cecep.
Wassalam
Aep SD
Assalamu'alaikum.
Mang Aep ada beberapa pertanyaan,
1. Manakah yang rajih (lebih kuat), untuk perempuan yang sedang haid. Bolehkah masuk ke mesjid atau di larang? Sementara Ada yang mengatakan boleh, karena sekarang sudah ada pembalut. Sedangkan Ulama dahulu melarangnya, karena dikhawatirkan adanya darah haid yang menetes.
2. Perempuan yang sedang haid bagaimana hukumnya mengikuti tahlilan, tawasul atau memimpin tawasul, karena biasanya yang dibaca berupa ayat-ayat al Qur'an?
3. Bagaimana hukumnya anak lelaki yang belum di khitan bila masuk ke mesjid. Apakah dilarang? Kalau memang dilarang, apa alasannya? apakah karena anak tersebut membawa najis?
Hatur nuhun kana waktosna.
-Cecep-
Kairo
JAWABAN
Wa'alaikum salam
Hatur nuhun Kang Cecep. Sebenarnya ulama yang membolehkan wanita masuk ke dalam mesjid itu, bukan semata karena menetes dan tidaknya darah haid, tapi ada dalil lain yang lebih kuat.
Memang Jumhur, sampai 4 imam madzhab berpendapat tidak diperbolehkan masuk ke masjid, kecuali karena darurat, atau dalam redaksi al-Qur'annya 'abiris sabil' (QS. Anisa: 43). Para imam madzhab menafsirkan kata ash-shalat dalam ayat tersebut dengan maudhi'us shalah (tempat shalat atau mesjid). Karena itu, tidak dibenarkan wanita haid atau berhadats besar masuk ke dalam mesjid, kecuali sekedar saja atau ada keperluan darurat, dengan rincian yang sangat panjang sebagaimana disampaikan oleh beliau-beliau dalam buku fiqih.
Namun, Ibnu Hazm melihatnya lain. Wanita haid dan hadats besar diperbolehkan masuk ke dalam mesjid bahkan berdiam lama, misal mendengarkan pengajian, juga dipersilahkan. Pertama, karna kata ash-shalah dalam ayat tersebut harus dipahammi sebagai shalat itu sendiri bukan, tempat shalat.
Kedua, hadits-hadits yang mengatakan bahwa wanita haid nifas berhadats besar tidak boleh masuk mesjid, semuanya dhaif.
Ketiga ada hadits lain justru sebaliknya, bahwa wanita haid dan nifas boleh diam lama di mesjid. Yaitu hadits riwyaat Bukhari, bahwa Walidah Sauda' seorang wanita baduy yang masuk islam, kata Sayyidah Aisyah wanita tersebut mempunyai rumah, tenda di dalam mesjid dan tinggal selamanya. Ini artinya, pasti dia pernah haid, nifas dan lainnya, namun Rasul tidak melarangnya, rasul tetap membiarkannya tinggal di mesjid. Karena itu, diperbolehkan. Untuk lebih jelasnya Mang cecep dapat lihat di kitab Ibnu Hazm, al-Muhalla. Untuk hal ini, abdi lebih condong ke pendapat Ibnu Hazm, terlebih konteks sekarang untuk ibu-ibu yang biasa ada pengajian di mesjid, sehingga tidak ada alasan tidak ikut pengajian karena lagi halangan. Mengaji adalah sebuah kewajiban dan sangat penting, sementara diamnya wnaita haid di mesjid masih diperdebatkan, bahkan ada banyak ulama yang membolehkan.
Wanita haid dan nifas yang disepakati ulama dilarang adalah shalat dan puasa. Adapun memmbaca al-Qur'an, jumhur melarangnya, yang lain ada yang membolehkannya. Kata membaca pun multi pendapat, ada yang mengatakan membaca dengan melihat ke mushaf, jadi kalau melalui hafalan tidak mengapa, karena tidak disebut membaca al-Qur'an, tapi hafalan al-Qur'an, karena usahanya yang sudah menghafal. Sementara dzikir, doa dan lainnya sangat diperbolehkan, bahkan dianjurkan bagi wanita haid dan nifas.
Jadi untuk kasus ini, kita lihat kondisi. Bila tidak ada yang menggantikan ibu tersebut untuk pimpin doa dan tahlil, maka ibu haid tersebut tidak mengapa untuk memimpin tahlilan, hanya si ibu harus berwudhu lebih dahulu. Namun bila ada yang lain yang dpat menggantikan pimpin tahlil, maka sebaiknya yang lain saja. Bukan masalah karena membaca ayat al-Qur'annya (karena itu bukan baca tapi sudah hafalan), tapi menyangkut doanya, agar lebih afdhal, karena yang memimpin doa dan tahlil nya seorang yang suci. Demikian.
Adapun anak-anak yang belum sunat, silahkan saja untuk masuk mesjid, bahkan hemat abdi dianjurkan, agar mereka lebih mengenal agamanya. Adapun karena membawa najis, ini alasan kirang tepat. Karena yang namanya najis itu yang nampak, kelihatan, tapi kalau tidak kelihatan, tidak tahu, tentu tidak mengapa. Apalagi kalau alasanya najis di ujung dzakarnya yang belum disunat, ini sangat tidak tepat. Karena najisnya tidak nampak, kecuali kalau si anak tersebut jelas-jelas pipis (buang air) di masjid.
Mengapa demikian? Karena dalam banyak hadits, Rasulullah saw biasa membawa Hasan dan Husain yang masih kecil ikut shalat. Bahkan, Rasul dinaikin oleh Imam Husain, ketika beliau sujud, dan karenanya Rasul melamakan sujud beliau. Kalau alasannya karena najis, tentu Rasul akan mengulang shalatnya, atau tidak akan membolehkan Imam Hasan dan Husain masuk mesjid. Rasul tidak demikian, Demikian juga dengan putra putri sahabat-sahabat Rasul lainnya. Demikian mang cecep dan semoga jelas.
Nuhun mang Cecep.
Wassalam
Aep SD
4 komentar:
jadi intinya bagaimana pak? boleh apa tidak wanita yang sedang haid masuk masjid?
Hemat saya, boleh-boleh saja selama ada keperluan terutama menyangkut agama, seperti pengajian atau yang lainnya. Hanya, sebelum masuk mesjid usahakan untuk mengambil wudhu terlebih dahulu, dan tentunya pastikan mesjid terjaga bersih, tidak terkena kotoran dari darah haid. Demiikian, wallahu a'lam bis shawab.
apa tujuan wudhu saat haid dan nifas? agak janggal dan aneh ustadz. apakah dg wudhu wanita tsb jd suci?
Ahlan, terima kasih Ustad Oonk. Wudhu di sini tidak dan bukan untuk membuat wanita itu suci, karena wudhu fungsinya untuk mensucikan dari hadats kecil, sedangkan haid adalah termasuk hadats besar yang harus dibersihkan dengan mandi. Wudhu di sini, menurut para ulama untuk menghormat mesjid. Jika dia hendak masuk ke mesjid, karena masih dalam keadaan berhadats, dan tidak mungkin untuk shalat, sementara mesjid tempat suci, maka dianjurkan untuk berwudhu sebelumnya.
demikian ustadz, terima kasihh, jazaakumullah.
Post a Comment