SEPUTAR HADITS TSA’LABAH BIN HÂTHIB AL-ANSHÂRY

    • Pertanyaan:

      Assalamu'alaikum

      Punten bade ngiring jabung tumalapung ka aep. Ep.....leureus teu hadits kisah Tsa’labah teh hadits dho,if, margi aya dua rowi anu ku sapalih ulama hadits dinyatakeun matruq?


      Terjemah ke dalam bahasa Indonesia:
      “Maaf, mau numpang bertanya ke Aep. Ep, betul nggak kisah Tsa’labah itu adalah Hadits Dhoif, karena ada dua rawi yang oleh sebagian ulama hadits dinilai Matruq?”

      Ecep Rahman, Bandung.



      Wa’alaikum salam wr. wb.
      Ahlan Kang Ecep, damang? Terima kasih atas pertanyaan luar biasa ini. Betul sekali, sebagian ulama menilai hadits kisah Tsa’labah ini sebagai Hadits Dhaif.

      Syaikh Nashiruddin al-Bani misalnya dalam Silsilah al-Ahâdits ad-Dha’îfah menilainya sebagai hadits Dhaif Jiddan (Lemah sekali). Syaikh Albany misalnya mengatakan:

      قلت: و هذا حديث منكر على شهرته، و آفته علي بن يزيد هذا، و هو الألهاني متروك، و معان لين الحديث، و قال العراقي في تخريج الإحياء ( 3 / 135 ): " سنده ضعيف " 

      Artinya: “Aku (Syaikh Albany) berkata: “Hadits ini adalah Hadits Munkar, sekalipun hadits ini sudah sangat terkenal. Sebabnya, ada dalam rawi Ali bin Yazid ini, dia adalah al-Alhany, seorang rawi Matruk, juga Ma’an, seorang rawi yang layyinul hadits. Imam al-‘Iraqi dalam kitabnyya Takhrîj al-Ihyâ 93/135) mengatakan: “Sanad hadits tersebut dhaif”.

      Demikian juga dengan Imam al-Hafizh Al-Haitsamy dalam kitabnya Majma’uz Zawâid wa Manba’ul Fawâid, menilai hadits tersebut sebagai Hadits Dhaif. Setelah memaparkan dan menukil kisah Tsa’labah secara keseluruhan, ia berkata:

      رواه الطبراني وفيه على بن يزيد الالهانى وهو متروك


      Artinya: “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani, dan di dalam sanadnya ada rawi bernama Ali bin Yazid al-Alhany, seorang rawi matruk”.

      Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Takhrîj Ahâdits al-Kasysyâf, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Albany dalam Silsilah al-Ahâdits ad-Dha’îfah, menilai hadits tersebut sebagai Hadits yang lemah sekali (Dhaif Jiddan).

      Ibnu Hazm, juga termasuk yang menilai hadits tersebut dhaif. Dalam kitabnya al-Muhallâ, Ibnu Hazm, memaparkan dua hal sebab dhaifnya hadits tersebut.

      Pertama, karena dalam sanadnya ada rawi Ma’an bin Rifâ’ah, Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid yang mana ia itu adalah Abu Abdul Malik al-Ahâny, semua rawi tersebut, menurut Ibnu Hazm adalah rawi-rawi dhaif. Demikian juga dengan rawi yang bernama Miskin bin Bukair, adalah seorang rawi yang tidak kuat.

      Kedua, karena Allah memerintahkan agar zakat harta ummat Islam diterima. Demikian juga ketika Rasulullah saw hendak wafat, beliau memerintahkan agar tidak ada dua agama di jazirah Arab. Artinya, yang berhak berada di tanah Arab hanyalah orang-orang Islam saja, dan Tsa’labah termasuk yang berada di dalamnya. Karena itu, Tsa’labah adalah seorang muslim, dan karenanya baik Abu Bakar maupun Umar bin Khattab diwajibkan untuk menerima zakat hartanya. Jika Tsa’labah itu seorang kafir, tentu ia tidak boleh berada di jazirah Arab. Karena itu, menurut Ibnu Hazm, kisah Tsa’labah ini tidak dapat diterima.

      Berikut penuturan lengkap Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhallâ:

      وهذا باطل بلا شك، لأن الله تعالى أمر بقبض زكوات أموال المسلمين، وأمر عليه السلام عند موته أن لا يبقى في جزيرة العرب دينان، فلا يخلو ثعلبة من أن يكون مسلما ففرض على أبي بكر، وعمر قبض زكاته ولا بد، ولا فسحة في ذلك - وإن كان كافرا ففرض أن لا يقر في جزيرة العرب - فسقط هذا الأثر بلا شك، وفي رواته: معان بن رفاعة والقاسم بن عبد الرحمن، وعلي بن يزيد - وهو أبو عبد الملك الألهاني - وكلهم ضعفاء، ومسكين بن بكير ليس بالقوي.

      Demikian, pendapat sebagian ulama yang menilai bahwa hadits Tsa’labah ini adalah Hadits Dhaif. Selain itu, juga terdapat sebagian ulama lainnya yang menilai hadits tersebut shahih, atau paling tidak dapat diamalkan. Namun, sebelumnya, saya akan mencoba terlebih dahulu, memaparkan rawi-rawi yang meriwayatkan hadits Tsa’labah ini.

      Kisah Tsa’labah ini diriwayatkan di antaranya oleh Ibnu Jarir at-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Imam at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir nya, Imam Baihaki dalam kitabnya Syu’abul Iman, juga yang lainnya. Kisah Tsa’labah ini juga didapatkan dalam hampir seluruh tafsir, ketika menjelaskan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 75. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila kisah Tsa’labah ini merupakan kisah yang sudah sangat popular di kalangan ummat Islam, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Albany di atas.

      Imam al-Wahidy an-Naisabury dalam kitabnya Asbâbun Nuzul mengatakan bahwa kisah Tsa’labah bin Hatib al-Anshari ini turun berkaitan dengan ayat 75 dari surat at-Taubah.

      Imam as-Suyuthi juga dalam kitabnya Lubâbun Nuqûl fi Asbâbin Nuzûl, mengatakan bahwa ayat 75 dari surat at-Taubah ini turun berkaitan dengan kisah Tsa’labah bin Hatib. Imam as-Suyuthi dalam kitabnya itu mengatakan bahwa sanad hadits tersebut adalah Dhaif. Imam as-Suyuthi mengatakan:

      أخرجه الطبراني وابن مردويه وابن أبي حاتم، والبيهقي في الدلائل بسند ضعيف عن أبي أمامة.


      Artinya: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani, Ibnu Mardawih, Ibnu Abi Hatim dan Imam Baihaki dalam kitabnya Dalâilun Nubuwwah dengan sanad lemah dari Abu Umamah…”.

      Namun, sekalipun Imam as-Suyuthi menilai sanad hadits tersebut dhaif, namun tidak berarti tidak dapat diamalkan. Hal ini terbukti dari kitabnya yang lain, dalam tafsirnya ad-Dur al-Mantsûr, juga dalam Tafsir al-Jalâlain (bersama gurunya, Jalaluddin al-Mahally), ketika menjelaskan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 75, juga menukil kisah Tsa’labah, dengan tanpa mengomentari bahwa hadits tersebut dhaif. Ini artinya, hemat saya, Imam as-Suyuthi juga membolehkan mengamalkan hadits tersebut.

      Kisah Tsa’labah ini disampaikan oleh hampir seluruh mufassirin ketika menafsirkan ayat dimaksud, mulai dari kitab-kitab tafsir terdahulu sampai tafsir-tafsir belakangan. Misalnya dalam tafsir karya Imam at-Thabari, Ibnu Katsir, al-Alusy, ar-Razi, al-Qurthuby, Syaikh Thantawi dalam at-Tafsir al-Wasith nya, atau juga Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wat Tanwir nya, sekalipun Ibnu Asyur menukilnya dengan menggunakan shigat lemah (qîla).

      Sepengetahuan penulis, hampir seluruh mufassirin awal, tidak menilai kisah tersebut sebagai kisah yang lemah, dan tidak dapat diamalkan. Kecuali Imam al-Qurthubi. Dalam tafsirnya, ia menilai kisah Tsa’labah ini tidah shahih. Imam al-Qurthubi dalam hal ini menukil perkataan Abu Umar berikut ini:

      قال أبو عمر: ولعل قول من قال في ثعلبة أنه مانع الزكاة الذي نزلت فيه الآية غير صحيح، والله أعلم


      Artinya: “Boleh jadi pendapat yang mengatakan bahwa Tsa’labah orang yang tidak mau membayar zakat, yang menjadi sebab turunnya ayat ini, tidak shahih. Wallahu a’lam”.

      Bahkan, Imam Ibnu Katsir, yang juga dikenal ahli dalam penilaian hadits, tidak memberikan komentar apa-apa terhadap kisah tersebut. Beliau menukil kisah Tsa’labah ini secara rinci dan lengkap dalam tafsirnya, ketika menafsirkan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 75 ini.

      Berikut ini perkataan beliau dalam tafsirnya Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm:

      وقد ذكر كثير من المفسرين، منهم ابن عباس، والحسن البصري: أن سبب نزول هذه الآية الكريمة في "ثعلبة بن حاطب الأنصاري


      Artinya: “Banyak para ahli tafsir, di antaranya Ibnu Abbas, al-Hasan al-Bashri, yang menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan kisah Tsa’labah bin Hathib al-Anshari”.

      Karena Imam Ibnu Katsir, diam, tidak memberikan komentar apa-apa tentang hadits Tsa’labah ini, Syaikh as-Shabuny dalam muqaddimah kitab Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir mengatakan bahwa kisah Tsa’labah ini adalah Shahih. Hal ini, karena menurutnya, Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, hanya meriwayatkan hadits-hadits shahih.

      Demikian, sekelumit seputar hadits Tsa’labah yang sangat terkenal itu. Dari pemaparan di atas, nampak bahwa para ulama berbeda pendapat ketika menilai hadits Tsa’labah ini. Ada yang menilainya sebagai Hadits Dhaif, ada juga yang menilainya sebagai Hadits Shahih. Dan, perlu diketahui bahwa penilaian hadits termasuk persoalan ijtihâdy. Hal lain juga, bahwa sekalipun dari segi sanad hadits tersebut dhaif, namun tidak berarti isi dan matan kandungannya tidak dapat diamalkan. Selama memenuhi beberapa persyaratan lain yang menjadi syawahid dari hadits tersebut, sebagaimana disampaikan para ulama.

      Bahkan, jumhur ulama, membolehkan mengamalkan Hadits Dhaif untuk Fadhailul A’mâl, selama memenuhi beberapa persyaratan, sebagaimana disampaikan para ulama hadits, seperti yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam muqaddimah Syarah nya terhadap Shahih Muslim.

      Semoga tulisan kecil ini bermanfaat, khususnya untuk saya sendiri dan umumnya untuk para pembaca semua. Apa yang benar, semua datang dari Allah dan RasulNya, dan apa yang salah, keliru dan tidak tepat, semua datang dari penulis sendiri dan dari setan. Allah dan RasulNya, terbebas dari semua itu. Wallâhu a’lam bis shawâb.

      Hatur nuhun,
      Aep Saepulloh Darusmanwiati
      Santri di Universitas al-Azhar, Kairo
      Email: aepmesir@yahoo.com

0 komentar:

Post a Comment