SEKILAS TENTANG PUASA ‘ÂSYÛRÂ’ (SEPULUH MUHARRAM)

Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati

Pengertian  Puasa Asyura

Secara bahasa, Asyura berarti kesepuluh. Ibnu Manzhur  dalam Lisânul ‘Arabmengatakan, Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram (al-yaum al-‘âsyir minal muharram). Para ulama berbeda pendapat tentang kapan puasa Asyura tersebut.

Pendapat pertama, yaitu Jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Syarahnya terhadap Shahih Muslimmengatakan, bahwa puasa Asyura adalah puasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. 

Imam al-Qurthubi, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam Fathul Bârimengatakan: “Kata asyuraadalah kata yang dipalingkan dari kata ‘âsyirah, dengan maksud untuk melebihkan dan mengagungkan (lilmubâlaghah wat ta’zhîm). 

Pada asalnya, kata ‘asyuraini sifat bagi malam kesepuluh, karena ia diambil dari kata al-‘asyr(sepuluh). Adapun hari nya (hari kesepuluh) adalah yang disandarkan kepadanya. 

Jika disebutkan hari Asyura, lanjutnya, maka seolah dikatakan, hari malam kesepuluh. Hanya saja, orang-orang Arab memalingkan dari sifatnya, sehingga yang lebih dikenal adalah nama dari yang disifatinya (al-maushûf), karena itu mereka membuang kata ‘malam’ nya, sehingga menjadi nama untuk hari kesepuluh (bukan hari malam kesepuluh)”.  

Pendapat kedua, yaitu pendapat Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan puasa Asyura adalah puasa pada hari kesembilan dari bulan Muharram. Pendapat Ibnu Abbas ini sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini: 

عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الأَعْرَجِ قَالَ: انْتَهَيْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ فِى زَمْزَمَ، فَقُلْتُ لَهُ: أَخْبِرْنِى عَنْ صَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ: إِذَا رَأَيْتَ هِلاَلَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ، وَأَصْبِحْ يَوْمَ التَّاسِعِ صَائِمًا. قُلْتُ: هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ [رواه مسلم
Artinya: “Al-Hakam bin al-‘A’raj berkata: “Aku pergi menuju Ibnu Abbas yang sedang menjadikan selendangnya sebagai bantal kepala di dekat sumur Zamzam. Aku bertanya kepadanya: “Kabarkan kepadaku tentang puasa Asyura?”. Ibnu Abbas menjawab: “Jika kamu melihat hilal dari bulan Muharram, hitunglah, kemudian pada hari kesembilannya, berpuasalah”. Aku bertanya kembali: “Apakah demikian Rasulullah saw melakukan puasa Asyura?” Ibnu Abbas menjawab: “Iya” (HR. Muslim). 

Ibnu Hajar dalam Fathul Barimengatakan, pendapat ini berdasarkan kebiasaan orang Arab dahulu dalam memberi minum unta. Orang-orang Arab jika mereka menggembala unta selama delapan hari, mereka memberinya minum pada hari kesembilan, dan mereka berkata:
وردنا عِشْرا 
Artinya: ““Kami memberikan minum pada hari kesepuluh (‘isyran)”. 

Demikian juga, menurut Imam Nawawi dalam Syarahterhadap Shahîh Muslim, orang-orang Arab apabila memberikan minum pada hari kelima, mereka menyebutnya rib’ân( ِربْعًا ), demikian seterusnya. Karena itulah, Ibnu Abbas berpendapat bahwa Asyura adalah puasa pada hari kesembilan Muharram, bukan hari kesepuluh nya. 

Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya sebagian sahabat lainnya, sebagaimana disampaikan Abut Thayyib Âbâdî dalam bukunya ‘Aunul Ma’bûd, puasa Asyura adalah puasa pada hari kesebelas Muharram. 

Dari ketiga pendapat di atas, pendapat paling kuat menurut para ulama adalah pendapat pertama, yaitu pendapatnya Jumhur ulama yang mengatakan bahwa puasa Asyura adalah puasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. 

Imam az-Zain Ibnul Munîr, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar mengatakan, jumhur ulama berpendapat bahwa Asyura adalah puasa pada hari kesepuluh dari bulan Allah, Muharram. Dan ini sesuai dengan asal usul dari kata tersebut, juga sesuai dengan penamaan itu sendiri.

Ibnu Hajar, juga menguatkan pendapat Jumhur. Menurutnya, pendapat Jumhur ulama lebih kuat, juga di antaranya karena dikuatkan oleh hadits di bawah ini: 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ)) وَفِى رِوَايَةِ أَبِى بَكْرٍ قَالَ: يَعْنِى يَوْمَ عَاشُورَاءَ [رواه مسلم
Artinya: “Abdullah bin Abbas berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Jika aku masih hidup sampai tahun depan, aku pasti akan berpuasa pada tanggal sembilannya (juga)”. Dalam riwayat Abu Bakr, ia berkata: “Yaitu pada hari Asyura”. (HR. Muslim).

Hadits ini menjadi dalil, lanjut Ibnu Hajar, bahwasannya Rasulullah saw berpuasa pada hari kesepuluh, dan beliau berniat untuk berpuasa juga pada tanggal sembilannya, hanya beliau meninggal sebelum melakukan itu.

Ibnu Hajar kemudian berkata: 
ثم ما هم به من صوم التاسع يحتمل معناه أنه لا يقتصر عليه، بل يضيفه إلى اليوم العاشر، إما احتياطا له، وإما مخالفة لليهود والنصارى، وهو الأرجح
Artinya: “Kemudian hadits yang menjelaskan niat beliau untuk puasa pada tanggal sembilan, mengandung pengertian bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada hari tersebut (tanggal 09), akan tetapi beliau menyandarkannya kepada hari kesepuluh juga. Ini dilakukan, baik sebagai upaya kehati-hatian, atau untuk menyalahi apa yang dilakukan Yahudi dan Nashrani. Dan pendapat ini (bahwa Asyura adalah tanggal sepuluh Muharram), adalah pendapat yang paling kuat”. 

Tiga tingkatan puasa Asyura

Imam Nawawi dalam Syarahterhadap Shahîh Muslimmengatakan, para ulama sepakat bahwa puasa Asyura hukumnya sunnat. 

Selain itu, para ulama mengatakan, sebagaimana disampaikan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, Imam asy-Syaukani dalam Nailul Authar, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Zâdul Ma’â, juga para ulama lainnya,  bahwa puasa Asyura ada tiga tingkatan, yaitu: 

Tingkatan pertama, dan ini merupakan tingkatan yang paling  utama, puasa tiga hari, yaitu ditambah satu hari sebelumnya dan satu hari setelahnya. Dengan demikian, puasa yang dilakukan adalah tanggal sembilan (09), sepuluh (10), dan sebelas (11) Muharram. 

Dalil puasa pada tanggal sepuluh Muharram (Asyura) telah dijelaskan sebagiannya di atas, dan sebagiannya akan dijelaskan di bawah nanti. 

Adapun di antara dalil disunnatkannya puasa pada tanggal sembilan Muharram, adalah: 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ)) وَفِى رِوَايَةِ أَبِى بَكْرٍ قَالَ: يَعْنِى يَوْمَ عَاشُورَاءَ [رواه مسلم
Artinya: “Abdullah bin Abbas berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Jika aku masih hidup sampai tahun depan, aku pasti akan berpuasa pada tanggal sembilannya (juga)”. Dalam riwayat Abu Bakr, ia berkata: “Yaitu pada hari Asyura”. (HR. Muslim).

Sedangkan di antara dalil disunnatkannya berpuasa pada tanggal sebelas Muharram, adalah hadits di bawah ini: 

عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((صوموا يوم عاشوراء، وخالفوا فيه اليهود، صوموا قبله يوما، أو بعده يوما)) [رواه أحمد]
Artinya: “Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Berpuasalah kalian pada hari Asyura, dan berbedalah dalam berpuasa Asyura tersebut dengan orang-orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya” (HR. Ahmad). 

Tingkatan kedua, dan tingkatan ini di bawah tingkatan pertama, dan di atas tingkatan ketiga, yaitu berpuasa dua hari, tanggal sembilan (tâsû’â’), dan tanggal sepuluh (‘âsyûrâ’) Muharram. Dalil-dalilnya sebagaimana telah disebutkan di atas. 

Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan paling rendah, berpuasa hanya pada tanggal sepuluh Muharram saja. 
Hanya saja, dalam Madzhab Hanafi, makruh hukumnya berpuasa hanya pada tanggal sepuluh saja, akan tetapi sebaiknya diiringi dengan berpuasa sehari sebelumnya, yaitu tanggal 09 Muharram, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Kasâny dalam Badâi’ ash-Shanâi’, Kamal bin Humâm dalam Syarh Fath al-Qadîr, Imam as-Sarakhsi dalam al-Mabsûth, juga buku-buku Fiqih Hanafi lainnya.

Madzhab Hanafi berhujjah di antaranya, dalam banyak hadits Rasulullah saw memerintahkan agar dalam melakukan puasa Muharram, berbeda atau menyalahi orang Yahudi yang hanya berpuasa tanggal sepuluh saja. Karena itu, agar berbeda dengan mereka, disunnatkan berpuasa satu hari sebelumnya.
Sementara menurut madzhab lainnya, termasuk Madzhab Syafi’i, tidak mengapa puasa hanya pada tanggal sepuluh Muharram saja. Hukumnya tetap sunnat. 

Imam Nawawi dalam kitabnya, al-Majmû’mengatakan, bahwa para ulama dalam madzhab Syafi’i, juga para ulama lainnya, menyebutkan hikmah berpuasa pada tanggal sembilan Muharram. 

Pertama, dimaksudkan untuk berbeda dengan orang Yahudi, yang hanya berpuasa pada tanggal sepuluh nya saja. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di bawah ini: 

عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((صوموا يوم عاشوراء، وخالفوا فيه اليهود، صوموا قبله يوما، و بعده يوما)) [رواه أحمد]
Artinya: “Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Berpuasalah kalian pada hari Asyura, dan berbedalah dalam berpuasa Asyura tersebut dengan orang-orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya, dan sehari setelahnya” (HR. Ahmad).

Kedua, sebagaimana disebutkan oleh al-Khattâbi dan lainnya, dimaksudkan agar puasa Asyura ini disambungkan dengan puasa lainnya (baik sebelum atau sesudahnya), sebagaimana Rasulullah saw melarang berpuasa hanya pada hari Jum’at saja. 

Ketiga, sebagai upaya kehati-hatian dalam berpuasa Asyura, karena dikhawatirkan hilal berkurang, sehingga terjadi kesalahan, di mana tanggal sembilan Muharram itu sebenarnya adalah tanggal sepuluh Muharram (asyura). 


Keutamaan puasa Asyura 

Puasa Asyura mempunyai banyak keutamaan. Di antaranya adalah sebagai berikut: 

1. Rasulullah saw menaruh perhatian sangat besar untuk puasa Asyura.

Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Abbas menuturkan berikut ini: 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ: مَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ، إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِى شَهْرَ رَمَضَان [رواه البخاري
Artinya: “Ibnu Abbas berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw begitu perhatiannya untuk berpuasa satu hari melebihi puasa-puasa sunnat lainnya, selain puasa pada hari ini, yaitu puasa ‘Asyurâ’, juga puasa di bulan ini, yaitu puasa Ramadhan” (HR. Bukhari). 

Bahkan, dalam hadits di bawah ini lebih ditegaskan lagi, ada empat amalan sunnat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Satu di antaranya adalah puasa Asyura. Berikut hadits dimaksud. 

عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ: أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: صِيَامَ عَاشُورَاءَ، وَالْعَشْرَ، وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاة [رواه النسائي وأحمد]
Artinya: “Hafshah berkata: “Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw: Puasa ‘Asyura’, puasa sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah (maksudnya puasa dari tanggal 01-09 Dzulhijjah=pent), puasa tiga hari setiap bulan Islam, dan shalat dua rakaat sebelum shalat Shubuh (qabliyyah Shubuh)” (HR. Nasai dan Ahmad). 

2. Puasa Asyura berada pada bulan haram yang paling mulia, yaitu bulan Muharram.

Di antara keutamaan lainnya dari puasa Asyura adalah, ia berada pada salah satu bulan haram. Bulan haram adalah bulan yang mulia dan dimuliakan, karena itu tidak diperbolehkan melakukan peperangan di dalamnya. Dari dua belas bulan yang ada, yang termasuk bulan-bulan haram hanya empat: Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. 

Dari keempat bulan haram di atas, menurut jumhur ulama, bulan yang paling utama adalah bulan Muharram, kemudian  bulan Rajab, Dzulhijjah  dan terakhir Dzulqa’dah. Dan dari seluruh hari bulan Muharram, menurut para ulama, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathâiful Ma’ârif nya, hari-hari yang paling utama adalah sepuluh hari pertamanya.

Saking utamanya bulan Muharram ini, ia juga disebut dengan bulan Allah (Syahrullâh), di mana puasa yang paling utama dilakukan setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Dan puasa Asyura adalah salah satu puasa yang berada di dalamnya, bahkan yang berada dalam sepuluh hari pertama dari bulan Muharram. Rasulullah saw bersabda: 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْل)) [رواه مسلم]   
Artinya: “Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, bulan Muharram. Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam” (HR. Muslim). 

Dalam Madzhab Syafi’i disebutkan, puasa sunnat semakin banyak sebabnya, maka semakin penting untuk dilakukan, sekaligus semakin besar pahalanya. Puasa Senin Kamis, jika dilakukan pada bulan Haram, maka lebih besar pahalanya, karena berkumpul dua sebab, yaitu puasa Senin Kamis nya, dan dilakukan pada bulan Haram. 

Puasa Asyura lebih besar lagi pahalanya, karena berkumpul tiga sebab di dalamnya, yaitu karena dia Asyura, kedua, karena jatuh pada pada bulan Haram, yaitu pada bulan Muharram, dan ketiga, karena berada pada sepuluh hari pertama dari bulan Muharram. Demikian penuturan Syaikh Khâlid bin Abdullah asy-Syaqafah dalam bukunya: Ad-Dirâsât al-Fiqhiyyah ‘Alâ Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’î Fî al-‘Ibâdât Wa Adillatuhâ

3. Puasa Asyura dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu.

Di antara keutamaan puasa Asyura lainnya  adalah, dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu, sebagaimana sabda Rasulullah saw di bawah ini: 

عَنْ أَبِى قَتَادَةَ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((...صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ)) [رواه مسلم
Artinya: “Dari Abu Qatadah, Rasulullah saw kemudian bersabda: “…Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah dapat menutupi dosa pada satu tahun sebelumnya, juga pada satu tahun setelahnya. Sedangkan puasa ‘Asyura’, aku berharap kepada Allah dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya” (HR. Muslim).

Jumhur ulama mengatakan, bahwa dosa yang akan diampuni dimaksud adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka harus melalui taubat. 

Syaikh al-Mubârakfury dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzî, mengatakan, mengapa puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa selama dua tahun, sedangkan puasa Asyura hanya satu tahun? Jawabannya, sebagaimana juga disampaikan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, karena puasa Asyura adalah syariat Nabi Musa as, sedangkan puasa Arafah adalah syariat Nabi Muhammad saw. Karena itu, maka puasa Arafah lebih utama dari pada puasa Asyura. 

4. Hari Asyura adalah hari di mana para nabi juga melakukan puasa di dalamnya.  

Di antara keutamaan puasa Asyura lainnya adalah, bahwa para Nabi juga melakukan puasa di dalamnya. Ini juga semakin  mempertegas penting dan utamanya puasa Asyura dalam Islam. 

Nabi Musa as, misalnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini, beliau berpuasa pada hari Asyura sebagai rasa syukur kepada Allah telah diselamatkannya dari Fir’aun beserta bala tentaranya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini: 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ؟)). فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا، فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ))، فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَمَرَ بِصِيَامِه [رواه مسلم]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Rasulullah saw berkata kepada mereka: “Hari apa ini di mana kalian berpuasa padanya?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari istimewa, di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa as beserta kaumnya, dan Allah menenggelamkan Fir’aun beserta pasukannya. Nabi Musa as berpuasa (padanya) sebagai rasa syukur, dan karena itu kami juga berpuasa. Rasulullah saw bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih utama kepada Nabi Musa as dari pada kalian”. Rasulullah saw pun kemudian berpuasa, dan beliau memerintahkan (para sahabatnya) untuk berpuasa” (HR. Muslim).

Selain Nabi Musa as, Nabi Nuh as pun juga demikian. Nabi Nuh as juga berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah, karena pada hari itu, perahu yang ditumpanginya berlabuh di gunung Judiy, setelah kurang lebih empat puluh hari berada di atas air. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini: 

عن أبى هريرة قال: مر النبى صلى الله عليه وسلم بأناس من اليهود قد صاموا يوم عاشوراء، فقال: ((ما هذا من الصوم؟)). قالوا: هذا اليوم الذى نجى الله موسى وبنى إسرائيل من الغرق، وغرق فيه فرعون، وهذا يوم استوت فيه السفينة على الجودى، فصام نوح وموسى شكرا لله تعالى، فقال النبى صلى الله عليه وسلم: ((أنا أحق بموسى وأحق بصوم هذا اليوم))، فأمر أصحابه بالصوم [رواه أحمد]
Artinya: “Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw melewati sekelompok orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari ‘Asyura’. Rasulullah saw bersabda: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari tenggelamnya (di Laut Merah). Pada hari ini juga Allah menenggelamkan Fir’aun. Pada hari ini juga perahu Nabi Nuh as, berlabuh di gunung Judiy, Nabi Nuh dan Nabi Musa as pun berpuasa padanya sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah saw bersabda kembali: “Aku lebih berhak kepada Musa, dan aku juga lebih berhak untuk berpuasa pada hari ini”. Rasulullah saw pun memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa” (HR. Ahmad).

Bahkan, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, disebutkan bahwa yang melakukan puasa pada hari Asyura bukan semata Nabi Muhammad saw, Nabi Musa as dan Nabi Nuh as, akan tetapi seluruh para nabi melakukannya. Rasulullah saw bersabda: 

عن أبي هريرة ش قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((يوم عاشوراء كانت تصومه الانبياء، فصوموه أنتم)) [رواه ابن أبي شيبة في مصنفه
Artinya: “Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Hari Asyura adalah hari di mana para Nabi dahulu juga melakukan puasa padanya. Karena itu, berpuasalah kalian padanya” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannafnya). 

Bahkan, bukan hanya para Nabi, akan tetapi orang-orang Quraisy pada masa Jahiliyyah, Ahlul Kitab, juga anak-anak pun turut melakukan puasa Asyura ini, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di bawah ini:

عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ [رواه البخاري]
Artinya: “Aisyah berkata: “Puasa ‘Asyura’ adalah puasa di mana orang-orang Quraisy pada masa Jahiliyyah berpuasa di dalamnya. Rasulullah saw juga berpuasa padanya. Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau juga berpuasa dan memerintahkan (para sahabatnya) untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah saw meninggalkan puasa ‘Asyura’. Siapa yang mau, silahkan berpuasa, dan siapa yang tidak mau, silahkan meninggalkannya” (HR. Bukhari).

Dalil bahwa ahlul kitab juga dahulu berpuasa, di antaranya adalah hadits di bawah ini: 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ؟)).... [رواه مسلم]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Rasulullah saw berkata kepada mereka: “Hari apa ini di mana kalian berpuasa padanya?”… (HR. Muslim).

Sedangkan di antara dalil bahwa anak-anak kecil pada masa Rasulullah saw juga melakukan puasa Asyura ini adalah hadits berikut ini: 

عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ: أَرْسَلَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأَنْصَارِ: ((مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ))، قَالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ، حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ [متفق عليه
Artinya: “Ar-Rabî’ binti Mu’awwidz berkata: “Pada pagi hari ‘Asyura’ Rasulullah saw mengutus (para utusannya) ke kampung-kampung kaum Anshar (di sekitar Madinah). Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang pagi harinya telah berbuka, maka tahanlah (tidak makan dan minum) pada sisa harinya (sebagai penghormatan kepada hari ‘Asyura’ tersebut). Siapa yang pagi harinya berpuasa, maka teruskanlah puasanya”. Ar-Rabî’ berkata kembali: “Kami pun kemudian berpuasa, demikian juga anak-anak kami turut berpuasa. Kami membuatkan mainan dari wol untuk mereka. Apabila salah seorang dari mereka menangis meminta makanan, kami beri berikan mainan tersebut. Anak tersebut terus bermain sampai waktu berbuka tiba” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam riwayat Muslim, dengan redaksi sedikit berbeda disebutkan: 

عَنِ الرُّبَيِّعَ بِنْتَ مُعَوِّذٍ عَنْ صَوْمِ عَاشُورَاءَ قَالَتْ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رُسُلَهُ فِى قُرَى الأَنْصَارِ،... وَنَصْنَعُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَنَذْهَبُ بِهِ مَعَنَا، فَإِذَا سَأَلُونَا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيهِمْ حَتَّى يُتِمُّوا صَوْمَهُمْ [رواه مسلم]
Artinya: “Dari ar-Rabî’ binti Mu’awwidz, ia berkata tentang puasa ‘Asyura’: ‘Rasulullah saw mengutus para utusannya ke kampung-kampung kaum Anshar. Ia berkata: ‘Dan kami pun membuat mainan dari wol untuk anak-anak  kami. Mainan itu kami bawa, ketika anak-anak meminta makanan, kami berikan mainan kepada mereka, sehingga mereka lupa (dengan makanan), sampai akhirnya mereka menyempurnakan puasanya” (HR. Muslim).

Semua ini lebih mempertegas bahwa puasa Asyura adalah puasa yang sangat utama dan istimewa. 

5. Pada hari Asyura terjadi banyak peristiwa agung.

Termasuk keutamaan hari Asyura, yaitu tanggal sepuluh Muharram, adalah banyaknya terjadi peristiwa-peristiwa agung. Di antaranya, diselamatkannya Nabi Musa as beserta kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, ditenggelamkannya Fir’aun beserta bala tentaranya, juga berlabuhnya kapal Nabi Nuh as di atas gunung Judiy, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas.

Selain itu, Ibnu Abbas, Ikrimah, juga Qatadah berpendapat, pada hari Asyura juga Allah menerima taubatnya Nabi Adam as. Bahkan, Qatadah menambahkan, pada hari Asyura juga Allah menurunkan Adam as ke bumi. 

Imam Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, bahwa hari Asyura ini juga adalah hari di mana Allah menerima taubatnya kaum Nabi Yunus as. 

Apa yang disampaikan para sahabat dan tabi’in di atas sejalan dengan sabda Rasulullah saw di bawah ini: 

عَنْ عَلِىٍّ بن أبي طالب قَالَسَأَلَ رَجُلٌ النبي صلى الله عليه وسلم وَأَنَا قَاعِدٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَىُّ شَهْرٍ تَأْمُرُنِى أَنْ أَصُومَ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ؟ قَالَ: ((إِنْ كُنْتَ صَائِمًا بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَصُمِ الْمُحَرَّمَ، فَإِنَّهُ شَهْرُ اللَّهِ، فِيهِ يَوْمٌ تَابَ اللَّهُ فِيهِ عَلَى قَوْمٍ وَيَتُوبُ فِيهِ عَلَى قَوْمٍ آخَرِينَ)) [رواه الترمذي وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ]
Artinya: “Ali bin Abi Thalib berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, ketika saya sedang duduk. Ia bertanya: “Ya Rasulullah, bulan apa yang Anda perintahkan saya untuk berpuasa di dalamnya setelah bulan Ramadhan?” Rasulullah saw menjawab: “Jika kamu hendak berpuasa setelah bulan Ramadhan, puasalah pada bulan Muharram, karena bulan Muharram adalah bulan Allah. Pada bulan Muharram itu ada satu hari di mana Allah menerima taubat satu kaum, dan pada hari itu juga Allah menerima taubat kaum yang lainnya” (HR. Turmudzi. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hadits Hasan Gharib”). 


Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Puasa Asyura, menurut pendapat paling kuat, adalah puasa pada tanggal sepuluh Muharram.  

2. Puasa Asyura hukumnya sunnat. 

3. Terdapat tiga tingkatan puasa Asyura: 

Pertama, berpuasa tiga hari, yaitu tanggal 09, 10 dan 11 Muharram. 

Kedua, berpuasa dua hari, yaitu tanggal 09 (tâsû’â’) dan tanggal 10 Muharram (âsyûrâ’). 

Ketiga, berpuasa hanya pada satu hari saja, yaitu pada tanggal  10 Muharram. 

Dari ketiga tingkatan puasa di atas, puasa yang paling utama (afdhal) adalah puasa selama tiga hari, kemudian puasa dua hari, dan terakhir puasa satu hari, tanggal sepuluh Muharram saja. Hanya, menurut Madzhab Hanafi, makruh hukumnya jika berpuasa hanya pada tanggal sepuluh saja, karena di antaranya, menyerupai puasanya Yahudi. Sebaiknya juga berpuasa sebelumnya, yaitu tanggal 09 Muharram. 

4. Puasa Asyura mempunyai banyak keutamaan. Di antaranya dapat menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu, Rasulullah saw tidak pernah meninggalkannya, juga puasa ini dilakukan oleh banyak para Nabi, di antaranya oleh Nabi Musa as dan Nabi Nuh as. 

5. Selain berpuasa, pada hari Asyura juga para ulama menganjurkan memperbanyak ibadah-ibadah lainnya, seperti memperbanyak beristighfar, bertaubat, membaca al-Qur’an, shalat  sunnat, berdoa, berdzikir dan lainnya. Hanya, ada dua ibadah yang ditekankan, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku fiqih khususnya Fiqih Hanafi, yaitu bersedekah dengan harta dan memberikan nafkah, keperluan keluarga lebih banyak dan lebih lapang lagi. Karena dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath disebutkan: 

عن أبي سعيد الخدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ((من وسع على أهله في يوم عاشوراء، أوسع الله عليه سنته كلها)) [رواه الطبراني في المعجم الأوسط]
Artinya: “Abu Said al-Khudry berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang memberikan kelapangan kepada keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberikan kelapangan kepadanya selama satu tahun penuh” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath).

Harb, sebagaimana dinukil Ibnu Rajab dalam Lathâiful Ma’ârif, pernah menanyakan kedudukan hadits di atas kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Ahmad menilai tidak apa-apa (lam yarahû syai’an). Ibnu Manshur juga pernah menanyakan kepadanya apakah ia pernah mendengar hadits tersebut, Imam Ahmad mengatakan: “Iya”. 

 Demikian, penjelasan singkat seputar puasa Asyura, semoga bermanfaat khususnya untuk penulis dan keluarga, juga umumnya untuk seluruh pembaca dimana pun berada. Apa yang benar semua datangnya dari Allah dan RasulNya, dan apa yang salah, keliru atau tidak tepat, semua datang dari kebodohan penulis sendiri, sementara Allah juga RasulNya terbebas dari semua itu. Wallâhu a’lam bis shawâb

Hatur nuhun.
Kairo, Jum’at, 02 Desember 2011. 
Aep Saepulloh Darusmanwiati 
Santri di Universitas al-Azhar, Kairo. 
Email: aepmesir@yahoo.com

2 komentar:

qamaruddin sf said...

kang minta izin share di web zaman, ya kang. syukran

Aep Saepulloh Darusmanwiati said...

Mangga Mas Komar, silahkan. 'afwan.

Post a Comment