Assalamu’alaikum.
salam silaturahmi pak. Saya mau tanya apakah orang yang mempunyai kelainan dalam kelamin sering keluar air madi, sehingga menjadikan batal dari wudhu harus tetap melaksanakan shalat?
Wa’alaikum salam wr. wb.
Terima kasih Mas, salam silaturahim juga.
Para ulama fiqih mengartikan air madzi di antaranya sebagai berikut:
المذى هو ماء أبيض رقيق يخرج بلا شهوة قوية عند ثورانها
Artinya: Air madzi adalah air yang berwarna putih, lembut (tidak terlalu kental), ia keluar bukan karena syahwat yang kuat (ada syahwat tapi tidak terlalu kuat).
Di antara ciri-ciri air madzi adalah:
1. Berwarna putih, lembut dan tidak kental.
2. Apabila dipegang terasa sedikit kasar
3. Keluar bukan karena syahwat yang kuat tapi syahwat yang kecil dan biasa. Misalnya, seseorang karena melihat sesuatu yang merangsang, tiba-tiba ada cairan di kemaluannya.
4. Keluarnya tidak menimbulkan kenikmatan dan tidak mengurangi syahwat, kebalikan dari air mani.
5. Keluarnya tidak terpancar, tapi keluar biasa seperti air mengalir
6. Setelah air ini keluar, badan tidak terasa letih dan tidak terasa lemas.
Perlu juga saya sampaikan, sering keluar air madzi adalah wajar, normal, bukan kelainan kelamin. Umumnya terjadi kepada laki-laki atau perempuan yang sudah masuk puber dan belum menikah. Biasanya, begitu sudah menikah, jarang lagi keluar madzi. Dan perlu diketahui, perempuan jauh lebih banyak keluar madzi dari pada laki-laki.
Saya katakan bukan kelainan kelamin, karena ini juga pernah menimpa Imam Ali bin Abi Thalib. Perhatikan dalam hadits muttafaq ‘alaih berikut ini:
عَنْ عَلِىٍّ بن أبي طالب قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً، وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: ((يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ)) [متفق عليه]
Artinya: “Ali bin Abi Thalib berkata: “Saya adalah seseorang yang banyak keluar air madzi. Saya malu bertanya kepada Rasulullah saw karena kedudukan putrinya (maksudnya karena putri Rasulullah saw adalah isteri Ali). Saya lalu meminta al-Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakannya, dan Rasulullah saw menjawab: “Kemaluannya dicuci dan berwudhu” (HR. Muttafaq a’laih).
Dari hadits ini para ulama mengambil beberapa kesimpulan hokum, seperti misalnya yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalan Syarah nya terhadap Shahih Muslim:
Pertama, para ulama telah Ijma’ (sepakat), orang yang keluar madzi tidak wajib mandi besar. Yang mandi wajib besar adalah jika keluar air mani.
Kedua, air madzi adalah najis, dan karenanya harus dicuci. Jika air madzi tersebut mengena celana, atau baju, maka bagian celana atau baju yang terkena madzi tersebut harus dicuci, syukur-syukur diganti dengan celana atau baju lainnya. Jika air madzi tersebut tidak mengenai baju atau celana masih berada di ujung kemaluan, maka ujung kemaluan itu harus dicuci.
Ketiga, karena air madzi adalah najis, maka ia membatalkan wudhu. Artinya, ia harus berwudhu kembali jika hendak melakukan shalat.
Perlu juga diketahui, bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah yang sudah balig. Selama dia hidup, apapun keadaannya, tetap diwajibkan melakukan shalat. Termasuk yang sering keluar air madzi, tetap wajib shalat. Apabila yang sakit parah dan sekarat saja, selama masih ingat, masih tetap wajib shalat, maka apalagi yang hanya sering keluar air madzi. Demikian Mas, terima kasih.
Hanya, seperti yang saya jelaskan di atas, setiap kali keluar air madzi, maka cuci bagian yang terkena, lalu wudhu lagi lalu shalat.
Namun, jika air madzi nya itu keluar di luar normal, misalnya bukan karena melihat sesuatu yang merangsang sedikit, akan tetapi sudah seperti penyakit, bahwa ia keluar kapan saja dan terus menerus sekalipun tidak ada sedikit syahwat, maka yang demikian dikategorikan ‘udzur syar’i. Sebagaimana dengan darah istihadhah.
Untuk yang ‘udzur ini, maka begitu ia melihat ada air madzi keluar, cuci terlebih dahulu bagian yang terkena air madzi tersebut, lalu shalatlah. Jika di tengah shalat air itu keluar lagi, maka teruskan shalat dan tidak perlu mengulangi wudhu. Hanya, perlu juga diketahui, untuk yang kondisi ‘udzur ini, satu wudhu hanya dapat dipakai untuk satu shalat. Tidak boleh satu wudhu untuk dua shalat. Misalnya, wudhu untuk shalat zhuhur, hanya dapat dipakai untuk shalat zhuhur saja. Begitu hendak shalat Ashar, ia harus mencuci bagian yang terkena madzi lagi dan harus wudhu lagi. Demikian seterusnya.
Perlu juga diketahui, kata madzi boleh dibaca dengan tiga bacaan.
Pertama, boleh dibaca madzyi (dengan membaca fathah huruf mim dan membaca sukun huruf dza).
Kedua, boleh dibaca madziyy (dengan membaca kasrah huruf dza, dan mentasydid huruf ya).
Ketiga, boleh juga dibaca madzi (dengan membaca kasrah huruf dza dan membaca sukun huruf ya).
Hanya, dari ketiga bacaan di atas, menurut Imam Nawawi, bacaan yang paling masyhur dan tepat adalah bacaan pertama, yaitu madzyi. Demikian, semoga bermanfaat, wallâhu a’lam bis shawâb.
2 komentar:
Assalamuaalikum
Ustadz, masalah madzyi insya Allah jelas. tapi kalo mani ada yang musykil sedikit. di kitab safinatun najah keluar mani itu tidak membatalkan wudhu, namun di kitab Fiqhus sunnahnya Sayid Sabiq, mani itu tetap membatalkan wudhu. kayaknya lebih tepat kalo air mani itu membatalkan wudhu dech. bagaimana mnurut ustadz?
Wa'alaikum salam wr. wb.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya. Betul sekali ketika mengatakan pembatal2 wudhu (nawaqidhul wudhu), Sayyid Sabiq, memasukkan nomor 4, 5 dan 6 adalah keluar air mani, madzi dan wadi. Dalil yang disampaikan Sayyid Sabiq adalah perkataan Ibnu Abbas bahwa keluar air mani harus mandi. Dan cara mandi besar yang sempurna, di antarnya sebaiknya diawali dengan mencuci anggota wudhu terlebih dahulu, berwudhu.
Ketika membicarakan pembatal-pembatal wudhu, para ulama empat madzhab sepakat, bahwa di antara yang membatalkan wudhu adalah setiap yang umumnya keluar dari salah satu jalan (kemaluan depan dan belakang), seperti pipis, angin, madzi, dan termasuk juga air mani. Karena ia juga termasuk yang biasa keluar dari kemaluan depan.
Hanafiyyah dan Hanabilah sepakat, setiap yang umumnya keluar dari dua jalan tersebut, termasuk air mani, maka membatalkan wudhu.
Sedangkan Malikiyyah mengecualikan, air mani yang membatalkan wudhu itu jika keluarnya dengan nikmat. Namun jika air mani keluarnya tidak dengan nikmat, seperti karena diseruduk hewan, maka menurutnya tidak membatalkan wudhu.
Sementara Syafi'iyyah mengatakan bahwa air mani yang keluar dari diri seseorang tidak membatalkan wudhu, karena ia mempunyai kewajiban yang lebih besar, yaitu wajibnya mandi besar.
Dari sini nampak jelas, mengapa Syaikh Salim dalam Safinatun Naja tidak memasukkan keluar air mani sebagai pembatal wudhu, karena beliau adalah ulama bermadzhab Syafi'i. Sementara Syaikh Sayyid Sabiq, mengambil pendapat lain, khususnya Hanabilah. Dan sepenelitian saya, Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah nya, sebagian besar mengambil pendapat Madzhab Hanbali, khususnya pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah.
Mohon maaf sedikit meralat, nama kitab karya Syaikh Salim adalah Safinatun Naja', bukan Safinatun Najah.
Demikian, semoga jelas. Wallahu a'lam bis shawab.
makasih.
Post a Comment