Assalamu’alaikum wr. wb.
Punten Pak Ustadz, saya Teh Rita, sepupu Neng Ina. Semoga pak Ustadz dan Neng Ina selalu dalam lindungan Allah. Mau konsultasi, gimana hukumnya sunat bagi perempuan? Karena depkes melarang sunat perempuan karena dianggap menyakiti, tidak ada fungsinya.
Punten Pak Ustadz, saya Teh Rita, sepupu Neng Ina. Semoga pak Ustadz dan Neng Ina selalu dalam lindungan Allah. Mau konsultasi, gimana hukumnya sunat bagi perempuan? Karena depkes melarang sunat perempuan karena dianggap menyakiti, tidak ada fungsinya.
Ustadz teteh (dosen agama) waktu kuliah juga bilang sunat perempuan haditsnya dhoif, karena menyakiti jadi gak perlu disunat. Tapi pak ustadz yang suka ngisi ceramaah di puskesmas teteh, bilang sunnat perempuan sunnah muakkadah. Jadi mana yang benar? Sedangkan kita orang kesehatan sering berhadapan dengan sunat perempuan. Hatur nuhun sateuacana.
Jakarta,
Rita Haryanti
Wa’alaikum salam wr. wb.
Ahlan Teh Rita kumaha damang? Hatur nuhun sateuacana, salam kanggo Uwa Aah sakulawargi. Amiiin, hatur nuhun.
Mengenai hukum khitan (sunat) perempuan, para ulama sepakat hukumnya disyariatkan (masyrû’). Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat apakah masyrû’ tersebut berarti wajib atau sunnat? Para ulama dalam hal ini terbagi dua pendapat:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa khitan (sunat) baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan hukumnya wajib. Pendapat ini merupakan pendapatnya Madzhab Syafi’i, Hanbali, juga yang lainnya.
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmû’ misalnya mengatakan:
الختان واجب على الرجال والنساء عندنا، وبه قال كثيرون من السلف، كذا حكاه الخطابي، وممن أوجبه أحمد، وقال مالك وأبو حنيفة سنة في حق الجميع
Artinya: “Dalam madzhab kami (Madzhab Syafi’i) khitan hukumnya wajib bagi laki-laki juga bagi perempuan. Menurut al-Khattâbi, pendapat ini juga merupakan pendapat kebayakan ulama salaf (ulama terdahulu). Ulama lain yang berpendapat khitan itu wajib adalah Imam Ahmad. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, khitan itu sunnat bagi laki-laki maupun bagi perempuan”.
Musa bin Ahmad al-Hijâwi dalam kitabnya al-Iqnâ`, salah satu buku penting dalam Madzhab Hanbali, mengatakan:
وَيَجِبُ خِتَانُ ذَكَرٍ وَأُنْثَى... عِنْدَ بُلُوغٍ مَا لَمْ يَخَفْ عَلَى نَفْسِه
Artinya: “Khitan bagi laki-laki dan perempuan wajib hukumnya, ketika sudah baligh, selama tidak dikhawatirkan terhadap dirinya”.
Imam al-Buhûthi, juga seorang tokoh penting dalam Madzhab Hanbali, dalam kitabnya Kasysyâful Qinâ’, mengatakan:
وفي قول النبي صلى الله عليه وسلم {إذا التقى الختانان وجب الغسل} دليل على أن النساء كن يختتن، ولأن هناك فضلة فوجب إزالتها كالرجل، وقت وجوبه (عند بلوغ) لقول ابن عباس وكانوا لا يختنون الرجل حتى يدرك رواه البخاري، ولأنه قبل ذلك ليس بأهل للتكليف
Artinya: “Sabda Rasulullah saw yang berbunyi: “Jika dua yang dikhitan bertemu, maka wajib mandi”, menjadi dalil bahwa wanita-wanita pada masa dahulu (masa Rasulullah saw) juga dikhihtan. Karena dalam khitan perempuan itu ada keutamaan, maka karenanya juga wajib sebagaimana laki-laki. Waktu wajib untuk mengkhitannya adalah ketika masa baligh, hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas bahwasannya mereka tidak mengkhitan laki-laki sampai mereka baligh (HR. Bukhari), dan karena sebelum baligh belum termasuk yang terkena taklif (kewajiban)”.
Pendapat kedua, mengatakan khitan bagi perempuan hukumnya bukan wajib. Namun mereka berbeda pendapat apakah bukan wajibnya itu jatuh menjadi sunnat atau di bawah sunnat (mustahab atau makrumah lirrijâl).
Menurut jumhur Malikiyyah dan sebagian kecil Hanafiyyah, khitan bagi perempuan hukumnya sunnat.
Imam al-‘Adawi dalam Hasyiyahnya terhadap kitab Kifâyatut Thâlib ar-Rabbâni karya Imam Nûruddîn Ali bin Muhammad al-Manûfy, mengatakan:
(والخفاض في النساء) وهو إزالة ما بفرج المرأة من الزيادة (مكرمة) يعني سنة كسنة ختان الذكور وإنما قال مكرمة تبعا للحديث، وإنما كان مكرمة لأنه يرد ماء الوجه ويطيب الجماع للزوج والله أعلم
Artinya: “Adapun khifadh (sebutan untuk khitan perempuan) yaitu menghilangkan sedikit bagian tambahan dari kemaluan perempuan, hukumnya makrumah, yakni sunnat, seperti sunnatnya khitan bagi laki-laki. Dalam hal ini disebut makrumah (bukan sunnat), karena mengikuti hadits Rasulullah saw. Disebut makrumah, karena khitan perempuan itu dapat menghalangi air wajah dan akan membuat suami lebih nikmat ketika berhubungan badan. Wallâhu a’lam”.
Dalam kitab al-Fawâkih ad-Dawâni karya Imam Ahmad bin Ghanam an-Nafrâwî, juga disebutkan:
( والخفاض ) وهو قطع ما على فرج الأنثى كعرف الديك ( للنساء ) وحكمه أنه ( مكرمة ) بضم الراء وفتح الميم أي كرامة بمعنى مستحب لأمره صلى الله عليه وسلم بذلك
Artinya: “Al-Khifâdh atau khitan bagi perempuan yaitu dengan jalan memotong sedikit bagian yang seperti belalai ayam yang ada dalam kemaluan perempuan, hukumnya makrumah, dengan membaca dhammah huruf ra dan fathah huruf mim, yaitu mulia dalam arti dianjurkan (sunnat), berdasarkan perintah Rasulullah saw”.
Sementara Jumhur Hanafiyyah dan sebagian kecil Malikiyyah mengatakan, khitan bagi perempuan hukumnya bukan sunnat tapi mulia saja (makrumah) bagi laki-laki, karena lebih nikmat ketika berhubungan badan.
Imam az-Zaila’î al-Hanafi dalam kitabnya, Tabyînul Haqâiq Syarh Kanz ad-Daqâiq mengatakan:
وختان المرأة ليس بسنة ، وإنما هو مكرمة للرجال لأنه ألذ في الجماع
Artinya: “Khitan bagi perempuan tidak sunnat, akan tetapi makrumah (mulia) bagi kaum laki-laki, karena lebih nikmat ketika hubungan badan”.
Semakna dengan apa yang ada dalam Tabyînul Haqâiq, Ibnu Nujaim dalam kitabnya al-Bahrur Râiq juga menyebutkan:
وختان المرأة ليس بسنة وإنما هو مكرمة للرجال في لذة الجماع، وقيل سنة
Artinya: “Khitan bagi wanita hukumnya bukan sunnat, akan tetapi makrumah (mulia) bagi laki-laki dalam hal lebih nikmat ketika hubungan badan. Sebagian mengatakan, sunnat”.
Dari pemaparan di atas nampak, bahwa para ulama berbeda pendapat seputar hukum khitan bagi perempuan, sebagian mengatakan wajib, sebagian lainnya mengatakan sunnat. Namun perlu digarisbawahi, tidak ada satupun ulama, sepengetahuan penulis, yang mengatakan makruh apalagi haram.
Dalil masing-masing pendapat
Kini, mari kita lihat sekilas dasar-dasar dan dalil-dalil pendapat masing-masing madzhab. Pendapat pertama yang mengatakan wajib, yaitu pendapatnya Syafi’iyyah dan Hanabilah, di antaranya berargumen dengan ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.
Dalil ayat al-Qur’an
Di antara dalil ayat al-Qur’an yang dijadikan hujjah pendapat pertama adalah: firman Allah dalam surat an-Nahl [16] ayat 123:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus)”.
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw dan tentu kita selaku ummatnya untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, yang di antaranya adalah khitan (sunat). Karena dalam hadits Muttafaq ‘alaih disebutkan bahwa Nabi Ibrahim as juga disunat dalam usia 80 tahun.
Hadits dimaksud adalah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَهْوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالْقَدُّومِ)) [متفق عليه]
Artinya: “Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Nabi Ibrahim as melakukan khitan pada usia 80 tahun di daerah Qaddûm (sebagian membacanya bil qadûm, tanpa mentasydid huruf dal nya, yang berarti kampak. Artinya Nabi Ibrahim melakukan sunnat sendiri dengan menggunakan kampak, dan yang terakhir ini menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, arti yang lebih tepat)” (HR. Bukhari Muslim).
Imam al-Qurthubi juga dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 124, mengutip pendapat Qatadah bahwa yang dimaksud dengan ayat: ‘ikutilah agama Ibrahim yang lurus’ adalah khitan (sunat).
Dalam kitab Manârus Sabîl Syarh ad-Dalîl karya Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim disebutkan:
والختان واجب على الذكر والأنثى لأنه من ملة إبراهيم عليه السلام، وفي الحديث اختتن إبراهيم بعد ما أتت عليه ثمانون سنة متفق عليه، وقد قال تعالى: ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفاً [ النحل : 123]
Artinya: “Khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan, karena khitan termasuk di antara ajaran Nabi Ibrahim as. Dan dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari Muslim disebutkan bahwa Nabi Ibrahim as melakukan khitan setelah usianya delapan puluh tahun. Juga karena berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 123 yang bebunyi: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus)( QS. an-Nahl: 123)”.
Ayat lainnya yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama ini adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah [2] ayat 124 di bawah ini:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya”.
Menurut pendapat pertama, dalam ayat ini Allah menguji Nabi Ibrahim dengan beberapa kalimat yang berupa perintah dan larangan, lalu Nabi Ibrahim menjalankannya. Ujian atau ibtilâ` dalam ayat di atas ditujukkan untuk sesuatu yang wajib. Dan kalimat-kalimat yang dimaksudkan dalam ayat di atas, adalah perkara-perkara yang termasuk fitrah, yang di antaranya adalah khitan.
Dengan demikian, ayat di atas mempunyai pengertian bahwa Allah mewajibkan khitan kepada Nabi Ibrahim as, dan dalam ayat lain surat an-Nahl ayat 123, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, di antaranya khitan. Karena khitan wajib bagi Nabi Ibrahim, maka demikian juga dengan ummat Nabi Muhammad saw.
Wajibnya khitan bagi Nabi Ibrahim, nampak juga dari hadits muttafaq ‘alaih di atas, bahwa ia melakukannya sekalipun pada usia 80 tahun. Kalau bukan sesuatu yang diwajibkan, tentu tidak akan dilakukan terlebih dalam usia lebih dari dewasa.
Perhatikan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bâri, dalam pembahasan qashshusy syârib (memotong kumis), berikut ini:
وصح عن ابن عباس أن الكلمات التي ابتلي بهن إبراهيم فأتمهن هي خصال الفطرة ومنهن الختان، والابتلاء غالبا إنما يقع بما يكون واجبا
Artinya: “Dan shahih diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya yang dimaksud dengan kalimat-kalimat (perintah dan larangan) yang diujikan kepada Nabi Ibrahim lalu Ibrahim menunaikannya’ adalah perkara-perkara fitrah, yang di antaranya adalah khitan (sunat). Dan ujian (ibtilâ`) umumnya terjadi untuk sesuatu yang wajib”.
Riwayat dari Ibnu Abbas yang dimaksudkan oleh Ibnu Hajar di atas adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 124 berikut ini:
وأصح من هذا ما ذكره ابن طاوس عن ابن عباس في قوله:" وَإِذِ ابْتَلى إِبْراهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِماتٍ فَأَتَمَّهُنَّ" قال: ابتلاه الله بالطهارة، خمس في الرأس وخمس في الجسد: قص الشارب، والمضمضة، والاستنشاق، والسواك، وفرق الشعر. وفي الجسد: تقليم الاظفار، وحلق العانة، والاختتان، ونتف الإبط، وغسل مكان الغائط والبول بالماء.
Artinya: “Riwayat yang paling shahih dalam hal ini adalah yang disampaikan oleh Ibnu Thawus dari Ibnu Abbas tentang firman Allah yang berbunyi: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya”, Ibnu Abbas berkata: “Allah menguji Nabi Ibrahim dengan bersuci; lima bersuci di kepala, dan lima di badan. Lima bersuci di kepala yaitu: Mencukur kumis, kumur-kumur, menghirup air ke hidung, siwak (gosok gigi) dan membersihkan rambut. Adapun lima di badan adalah memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan (sunat), mencabut bulu ketiak, mencuci dengan air tempat buang air besar dan buang air kecil (pipis)”.
Demikian dua ayat al-Qur’an di antaranya yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama akan wajibnya khitan baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
Dalil Sunnah
Adapun dalil sunnah pendapat pertama di antarnya adalah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ، وَالاِسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ)) [متفق عليه]
Artinya: “Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Ada lima perkara yang termasuk fitrah: Khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis” (HR. Bukhari Muslim).
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ)) [رواه مسلم]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Jika seseorang duduk di antara empat paha (maksudnya suami isteri yang berhubungan badan), dan khitan (suami) menyentuh khitan (isteri), maka wajib mandi baginya” (HR. Muslim).
عن الضحاك بن قيس قال: كان بالمدينة امرأة يقال لها أم عطية تخفض الجواري، فقال لها رسول الله صلى الله عليه و سلم: ((يا أم عطية أخفضي ولا تنهكي، فإنه أسرى للوجه وأحظى عند الزوج)) [رواه الحاكم، والطبراني والبيهقي وغيره]
Artinya: “Ad-Dhahhak bin Qais berkata: “Di Madinah ada seorang perempuan bernama Ummu Athiyyah yang suka mengkhitan budak-budak perempuan. Rasulullah saw berkata kepadanya: “Wahai Ummu Athiyyah, khitanlah (perempuan) dan jangan berlebihan (maksudnya bagian yang dipotongnya sedikit saja, tidak terlalu banyak), karena itu lebih membahagiakan untuk wajah dan lebih menguntungkan untuk suami (maksudnya lebih nikmat ketika berhubungan badan” (HR. Hakim, Thabrani, Baihaki dan lainnya).
Hadits-hadits di atas merupakan di antara dalil pendapat pertama. Menurutnya, dalam hadits-hadits di atas Rasulullah saw menjelaskan bahwa khitan termasuk fitrah untuk semua baik laki-laki maupun perempuan. Karena syariat Islam berlaku untuk semua, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan atau mengecualikan untuk perempuan.
Dalam hadits kedua lebih jelas bahwa pada masa Rasulullah saw wanita pun dikhitan. Buktinya dalam hadits di atas disebutkan: ‘dan jika khitan menyentuh khitan’ maksudnya adalah kemaluan laki-laki dan perempuan yang dikhitan. Hadits tersebut juga menjadi dalil wajibnya khitan bagi perempuan, karena jika khitan itu sunnat atau makrumah, maka tentu banyak atau ada sebagian wanita yang tidak diikhitan. Namun tidak ada hadits yang menyebutkan hal itu.
Hadits ketiga lebih tegas lagi, Rasulullah saw menggunakan kata perintah kepada Ummu Athiyyah: “khitanlah perempuan!”. Dan perintah menunjukkan wajib, selama tidak ada dalil yang memalingkannya.
Selain itu, pendapat pertama juga berhujjah, bahwa khitan bagi laki-laki dan perempuan, di antara fungsinya adalah untuk membersihkan najis yang tersisa terutama setelah pipis. Dengan dikhitan, najis itu menjadi bersih dan tidak ada. Menghilangkan najis adalah wajib terutama ketika hendak ibadah, karena ibadah seseorang tidak akan diterima jika membawa najis. Apabila menghilangkan najis adalah wajib, maka wasilah atau pelantara untuk menghilangkannya pun yang di antaranya adalah melalui khitan, menjadi wajib juga.
Dua hadits pertama jelas shahih, karena diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Sedangkan hadits terakhir yaitu hadits Ummu Athiyyah, diperdebatkan kesahihannya oleh para ahli hadits. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari jalur Anas bin Malik. Imam al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâid wa Manba’ul Fawâid mengatakan: “Sanadnya Hasan”.
Sedangkan menurut Imam asy-Syaukani dalam Nailul Authar, para ulama berbeda pendapat seputar kedudukan hadits di atas, karena di dalamnya ada rawi bernama Ali Abdul Malik bin Umair. Disebutkan ia menerima dari ad-Dhahak, sementara yang lain mengatakan ia menerima dari Athiyyah al-Qurzhi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim. Sebagian lainnya mengatakan ia menerima dari Ummu Athiyyah. Ibnu ‘Addi mengatakan: “Ia adalah rawi munkar”.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Daud, dan Abu Daud mengatakan:
قال أبو داود: روى عن عبيد الله بن عمرو عن عبد الملك بمعناه وإسناده، قال أبو داود: ليس هو بالقوى وقد روى مرسلاً، قال أبو داود: ومحمد بن حسان مجهول، وهذا الحديث ضعيف.
Artinya: “Abu Daud berkata: “Hadits tersebut diriwayatkan dari Ubaidillah bin Amer dari Abdul Malik dengan sanad dan maknanya. Abu Daud berkata: “Dia bukan seorang rawi yang kuat, dan dia meriwayatkannya secara mursal”. Abu Daud juga berkata: “Muhammad bin Hassan adalah rawi Majhul, dan hadits tersebut adalah Hadits Dhaif”.
Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam kitabnya at-Talkhîs al-Habîr setelah panjang lebar menceritakan kedudukan hadits di atas sekaligus jalur-jalur dan penguat-penguat lainnya, ia berkata:
وقال الطبرانى: تفرد به محمد بن سلام، وقال ثعلب: رأيت يحيى بن معين فى جماعة بين يدى محمد بن سلام فسأله عن هذا الحديث، وقد قال البخارى فى زائدة إنه منكر الحديث، وقال ابن المنذر: ليس فى الختان خبر يرجع إليه، ولا سند يتبع"
Artinya: “Aththabrani berkata: “Muhammad bin Salam menyendiri dalam meriwayatkan hadits tersebut”. Tsa’lab berkata: “Saya melihat Yahya bin Ma’în berada pada sekelompok orang-orang yang berada di hadapan Muhammad bin Salam. Ia lalu menanyakan hadits ini kepadanya, Muhammad bin Salam menjawab: “Imam Bukhari telah berkata dalam zâidah, bahwasannya hadits tersebut adalah Hadits Munkaar. Ibnul Mundzir berkata: “Dalam persoalan khitan (perempuan) tidak ada hadits yang dapat dijadikan acuan, juga tidak ada sanad yang dapat diikuti”.
Dalam kitabnya Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah, Syaikh Albany ketika menilai hadits ini, ia secara panjang lebar membahas dan menjelaskannya, dengan ditambahi hadits-hadits dan jalur-jalur yang menjadi penguatnya (syawâhid). Di kesimpulan terakhirnya, ia mengatakan:
وبالجملة فالحديث بهذه الطرق والشواهد صحيح، والله أعلم
Artinya: “Dengan melihat hadits-hadits secara keseluruhan, hadits ini dengan sanad-sanad dan syawâhid (penguat-penguat) yang telah disebutkan, adalah Shahih. Wallâhu a’lam.
Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa khitan bagi perempuan itu adalah sunat atau makrumah / mustahab, juga di antaranya berdasarkan hadits-hadits di atas, hanya dengan sudut pandang dan cara istinbat yang berbeda. Di samping itu, juga di antaranya berdalil dengan hadits berikut:
قال النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم: ((الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ، مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ)) [رواه أحمد وغيره]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Khitan itu sunnat bagi lagi-laki, dan mulia (makrumah) bagi perempuan” (HR. Ahmad dan yang lainnya).
Syaikh Albany dalam Silsilah al-Ahâdits ad-Dha’îfah menilai hadits di atas sebagai Hadits Dhaif. Syaikh Albany mengatakan:
أخرجه أحمد، وهذا إسناد رجاله ثقات، غير أن الحجاج و هو ابن أرطاة مدلس و قد عنعنه، و اختلف عليه في إسناده فرواه عباد هكذا، و تابعه حفص بن غياث عن الحجاج به
Artinya: “Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan sanad rawi-rawinya tsiqat (kuat, terpercaya). Hanya saja ada rawi bernama al-Hajjâj dan dia itu Ibnu Arthah, seorang rawi mudallis, dan ‘an’anah. Sanadnya diperdebatkan, ‘Ubad meriwayatkannya begini, juga diikuti oleh Hafzh bin Ghiyats dari al-Hajjaj”.
Dari pemaparan di atas, penulis hendak menyampaikan bahwa:
1. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh mereka yang berpendapat khitan perempuan itu diperintahkan (baik hukumnya wajib, sunnat atau mustahab), berdalil bukan hanya dengan hadits akan tetapi juga dengan ayat-ayat al-Qur’an dengan wajhud dilâlah (cara memahami dan mengambil hukum) tersendiri yang di antaranya telah penulis kemukakan di atas.
2. Mereka juga berdalil dengan hadits-hadits Rasulullah saw. Hadits-hadits ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Yang bersifat umum seperti yang diriwayatkan Bukhari Muslim, sedangkan yang bersifat khusus seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Baihaki dan lainnya.
Hadits-hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits Shahih, karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari juga Muslim.
Sedangkan hadits-hadits yang bersifat khusus (yang langsung berbicara mengenai khitan perempuan) ada yang kesahihannya diperdebatkan, seperti Hadits Ummu Athiyyah di atas, sebagian menilai Shahih dengan semua jalur dan syawahidnya, dan sebagian menilai Dhaif. Ada juga hadits yang kedudukannya dhaif, dan bagian kedua ini adalah sebagian besarnya.
Dengan demikian, hemat saya, tidak benar kalau dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan khitan perempuan itu diperintahkan berdasarkan kepada hadits-hadits Dhaif. Tapi yang lebih tepat, hadits-hadits yang dipergunakannya, ada yang shahih, dhaif, dan ada juga yang diperdebatkan kedhaifannya. Wallâhu a’lam bis shawâb.
Sebelum mengakhiri ulasan ini, saya hendak menyampaikan beberapa hal:
1. Untuk pemerintah Indonesia atau instansi manapun: khitan perempuan dalam fiqih Islam diperdebatkan hukumnya antara wajib, sunnah atau mustahab. Namun, tidak ada satupun pendapat ulama hemat saya, yang mengatakan bahwa khitan perempuan makruh terlebih haram.
2. Dalam pelaksanaan khitan perempuan ini, mohon dilakukan oleh dokter yang ahlinya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Hemat saya, larangan khitan perempuan yang terjadi di beberapa Negara, termasuk sebagian kecil wilayah di Mesir, karena melihat prakteknya yang dilakukan bukan oleh ahlinya, sehingga mengakibatkan infeksi atau hilangnya kenikmatan bagi si perempuan ketika berhubungan badan dengan suaminya (karena yang dipotongnya terlalu banyak).
3. Kasus yang terjadi dan sifatnya kondisional tidak dapat menggugurkan hukum yang sifatnya menyeluruh. Karena itu, ketika terjadi dampak negative dari khitan perempuan, maka yang perlu diperhatikan dan diperbaiki adalah para ahli yang menanganinya, caranya atau alat-alat yang dipergunakannya, bukan kemudian melarang khitan perempuan secara keseluruhan.
4. Bagi para dokter dan ahli yang bertugas mengkhitan perempuan, mohon diperhatikan bahwa bagian yang dipotong hanyalah sedikit saja, tidak terlalu banyak apalagi dihabiskan. Ini sesuai dengan pesan Rasulullah saw kepada Ummu Athiyyah sebagaimana haditsnya telah saya sampaikan di atas.
Terakhir, berikut saya kutipkan fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya al-Fatâwâ al-Kubrâ, ketika ditanyakan tentang apakah ada khitan untuk perempuan? Berikut perkataan Ibnu Taimiyyah:
في المرأة هل تختن أم لا؟ فقال: الجواب: الحمد لله، نعم تختن، وختانها: أن تقطع أعلى الجلدة التي كعرف الديك، قال رسول الله للخافضة، وهي الخاتنة : ((أشمي ولا تنهكي فإنه أبهى للوجه وأحظى لها عند الزوج)). يعني: لا تبالغي في القطع، وذلك أن المقصود بختان الرجل تطهيره من النجاسة المحتقنة في القلفة، والمقصود من ختان المرأة تعديل شهوتها، فإنها إذا كانت قلفاء كانت مغتلمة شديدة الشهوة، .... وإذا حصل المبالغة في الختان ضعفت الشهوة، فلا يكمل مقصود الرجل، فإذا قطع من غير مبالغة حصل المقصود باعتدال. والله أعلم
Artinya: “Apakah wanita juga dikhitan atau tidak?” Ibnu Taimiyyah menjawab: “Alhamdulillah. Iya, wanita juga dikhitan. Cara mengkhitannya dengan jalan memotong kulit bagian atasnya (sedikit) yang seperti belalai ayam (mungkin dalam istilah sekarang namanya klitoris=untuk lebih jelas mohon dikonsultasikan dengan dokter yang ahli). Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw kepada wanita yang biasa mengkhitan: “Potonglah sedikit dan jangan berlebihan dalam memotongnya (jangan terlalu banyak), karena khitan itu lebih menyegarkan wajah dan lebih menguntungkan suami”. Maksudnya: “Jangan berlebihan dalam memotongnya”. Ini dikarenakan, tujuah khitan bagi laki-laki adalah untuk membersihkan dari najis yang tertutup di ujung kemaluan. Sedangkan tujuan khitan untuk perempuan agar syahwatnya menjadi seimbang (tidak terlalu besar). Jika bagian kemaluannya tidak dipotong, maka syahwatnya akan sangat besar. Namun jika memotongnya terlalu banyak, syahwatnya akan lemah dan tidak akan sempurna (kenikmatannya) bagi laki-laki (ketika hubungan badan). Jika dipotong dengan tidak berlebihan, maka akan tercapailah tujuan khitan tersebut, yaitu menyeimbangkan (syahwat perempuan). Wallâhu a’lam”.
Demikian Teteh, semoga jelas dan bermanfaat, wallâhu a’lam bis shawâb.
Hatur nuhun
Aep Saepulloh D
2 komentar:
Jazakalloh khoiron... atas penjelasannya, ustadz.baru saja permasalahn ini diperdebatkan dalam sebuah kajian muslimah di tempat saya. sepertinya penjelasan dari nara sumber tsbt, bertentangan dengan yang kak Aep jelaskan disini.izin untuk dicopy ya... (Gusna)
'afwan Mbak Gusna. Silahkan, terima kasih. Aep SD
Post a Comment