Kedudukan Hadits Shalat Hajat

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum ya Ustadz

Smg Allah SWT melimpahkan kasih sayang-Nya kepada Ustadz sekeluarga. Amiin.

Saya ingin bertanya tentang dalil sholat hajat. Beberapa waktu yang lalu saya mendengar di salah satu radio di Solo, yakni MTA FM, bahwa sholat hajat itu tidak boleh dilaksanakan karena hadisnya lemah. 

Hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibn Majah, bersumber dari Abdullah bin Abu Aufa adalah dhaif karena di dalamnya ada rawi bernama Faid bin Abdurrahman yang menurut MTA FM, Imam Bukhari mengatakannya sebagai munkarul hadits, Abu Daud mengatakannya laisa bisyai' (tidak ada apa-apanya), At-Tirmidzi mengatakan hadist-haditsnya dilemahkan, Nasa'i mengatakan ia tidak kuat/hadisnya ditinggalkan, dan Ibnu Hibban mengatakan tidak boleh berhujjah dengannya.

Benarkah demikian, Ustadz?
Apakah sama sekali tidak ada hadis tentang sholat hajad yang shahih? Kalau ada tolong dipaparkan Ya Ustadz..

Demikian pertanyaan saya, mohon jawaban Ustadz dan sekiranya berkenan untuk dikirimkan ke email saya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

KEDUDUKAN HADITS SHALAT HAJAT 

Wa’alaikum salam wr.wb. 
Terima kasih atas pertanyaan yang luar biasa ini. Terdapat banyak hadits seputar Shalat Hajat ini, yang sebagian besarnya memang adalah hadits-hadits Dhaif. Sedangkan sebagian lainnya adalah hadits Shahih, dan sebagian lagi ada yang menilai dhaif, ada juga yang menilai Hasan atau Shahih. 
Hadits yang dimaksud oleh Ustadz yang mengisi di radio FM tersebut adalah hadits di bawah ini: 
 
عن عبد الله بن أبي أوفى قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من كانت له إلى الله حاجة أو إلى أحد من بني آدم، فليتوضأ فليحسن الوضوء ثم ليصل ركعتين ثم ليثن على الله وليصل على النبي صلى الله عليه وسلم، ثم ليقل: لا إله إلا الله الحليم الكريم، سبحان الله رب العرش العظيم، الحمد لله رب العالمين، أسألك موجبات رحمتك، وعزائم مغفرتك، والغنيمة من كل بر، والسلامة من كل إثم، لا تدع لي ذنبا إلا غفرته، ولا هما إلا فرجته، ولا حاجة هي لك رضا إلا قضيتها يا أرحم الراحمين)) [رواه الترمذي وابن ماجه] 

 
Artinya: “Abdullah bin Abi Aufa berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mempunyai keperluan kepada Allah atau yang berkaitan dengan manusia, maka hendaklah ia berwudhu sebaik mungkin, lalu shalatlah dua rakaat, kemudian sanjunglah nama Allah serta bershalawat kepada Rasulullah saw, lalu membaca doa berikut ini: ‘Lâ ilâha illallâhul halîmul karîm, subhânallâh rabbil ‘arsyil ‘azhîmm, alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. As’aluka mûjibâti rahmatik, wa ‘azâima maghfiratik, wal ghanîmata min kulli birr, was salâmata min kulli itsm, la tada’ lî dzanban illâ ghafartah, walâ hamman illâ farrajtah, walâ hâjatan hiya laka ridhan illâ qadhaitahâ yâ arhamar râhimîn (artinya: “Tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Penyayang dan Dermawan. Maha suci Allah, Tuhan Pemelihara ‘Arasy yang Agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Ya Allah, Aku memohon kepadaMu amalan-amalan yang dapat memperoleh curahan kasih sayangMu, sebab-sebab yang dapat meraih ampunanMu, keuntungan dari setiap kebaikan, keselamatan dari segala bentuk kemaksiatan. Jangan Engkau biarkan dosa-dosa ku, melainkan Engkau ampuni, segala kesulitan melainkan Engkau berikan jalan keluar dan kemudahan, segala hajat keperluan yang Engkau ridhai melainkan Engkau penuhi, ya Allah, Tuhan Sebaik-baik Penyayang” (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah). 

Hadits di atas diriwayatkan oleh banyak rawi, di antaranya oleh Imam Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Hakim. Para ulama hadits beragam dalam menilai hadits di atas. Imam Turmudzi misalnya setelah menukil hadits di atas beliau mengatakan:“Hadits ini adalah Hadits Gharib. Di dalam sanadnya diperbincangkan, karena ada rawi bernama Faid bin Abdurrahman yang merupakan rawi dhaif dalam meriwayatkan hadits. Faid bin Abdurrahman adalah Abul Warqâ’”. 

Lalu siapa Faid bin Abdurrahman itu? Dalam kitab al-Fawâid al-Majmû’ah karya Imam asy-Syaukani dikatakan, Imam Ahmad menilai Faid bin Abdurrahman sebagai rawi Matruk, sedangkan Imam Hakim dalam Mustadrak nya menilai Faid sebagai rawi yang lurus dalam meriwayatkan hadits (mustaqîm al-hadîts). 

Sedangkan Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam kitab Amâlinya, hadits tersebut mempunyai penguat dari riwayat Anas sekalipun hadits Anas tersebut Dhaif. 

Setelah menjelaskan secara panjang lebar penilaian para ulama seputar hadits tersebut, Imam asy-Syaukani dalam kitabnya al-Fawâid al-Majmû’ah kemudian berkata: 

 
ولصلاة الحاجة ألفاظ وصفات كلها ضعيفة إلا حديث أبي الدرداء وحديث ابن أبي أوفى المذكورين


Artinya: “Hadits-hadits seputar Shalat Hajat banyak matan dan cara-caranya yang berbeda-beda. Namun semua hadits-hadits dimaksud adalah Dhaif kecuali Hadits Abu Darda dan Hadits Ibn Abi Aufa tersebut di atas”. 

Syaikh Mubarakfury dalam Tuhfatul Ahwadzi (2/342) mengetengahkan beberapa pendapat seputar rawi Faid bin Abdurrahman ini ini. Al-Hafiz al-Mundziri berpendapat: ‘Faid adalah rawi matruk, namun banyak rawi tsiqah yang meriwayatkan dari padanya”. Ibnu ‘Addi berkata: “Sekalipun rawi dhaif, namun haditsnya tetap ditulis”. 

Dari sini nampak, bahwa penilaian para ulama sangat beragam terhadap hadits Ibnu Abi Aufa di atas, ada yang menilai hadits Dhaif, ada juga yang menilai sebagai hadits Hasan, atau Hadits Shahih bis Syawâhid. 

Syaikh Albany, termasuk yang menilainya sangat Dhaif. Dalam kitabnya, Dhaif at-Targhîb, misalnya, ia mengatakan: “Hadits tersebut sangat lemah”. Penilai Syaikh Albany ini disebabkan, di antaranya, karena menilai Faid bin Abdurrahman sebagai rawi Matruk. Dan perlu diketahui, bahwa Syaikh Albany adalah sosok muhaddits yang sangat ketat dalam penilaiannya terhadap hadits, sehingga tidak jarang beliau melontarkan penilaian hadits-hadits sangat lemah atau bahkan maudhu’ untuk hadits-hadits yang dinilai oleh ulama lain sebagai hadits Hasan atau malah Shahih. 

Sekalipun hadits tersebut dinilai dhaif, namun tidak berarti bahwa shalat sunnat Hajat tidak disyariatkan. Shalat Sunnat Hajat menurut Jumhur ulama, dan ini juga merupakan pendapatnya empat madzhab fiqih; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, adalah dianjurkan, atau hukumnya sunnat. 

Hal ini karena bayak hadits lain yang shahih yang menjadi dasar sunnahnya shalat Hajat ini. Di antara hadits shahih yang menjadi dasar shalat Hajat adalah hadits di bawah ini: 
 
عن عثمان بن حنيف أن رجلا ضرير البصر أتى النبى صلى الله عليه وسلم فقال: ادع الله أن يعافينى. قال: ((إن شئت دعوت وإن شئت صبرت فهو خير لك)) قال: فادعه. قال: فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعو بهذا الدعاء: اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبى الرحمة إنى توجهت بك إلى ربى فى حاجتى هذه لتقضى لى اللهم فشفعه فى)) فرجع وقد كشف الله عن بصره [رواه الترمذي وقال: هذا حديث حسن صحيح، والنسائي، وابن خزيمة
 
Artinya: “Dari Utsman bin Hunaif, seorang laki-laki buta datang menghadap Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, doakan agar Allah mengembalikan penglihatan saya”. Rasulullah saw bersabda: “Jika kamu mau, aku tidak mendoakannya dan itu lebih baik bagimu. Namun jika kamu mau, aku akan mendoakannya”. Laki-laki itu berkata kembali: “Doakan saja ya Rasulullah”. Rasulullah saw kemudian memerintahkan laki-laki itu wudhu dengan baik, lalu shalat dua rakaat. Selesai shalat, Rasulullah saw menyuruh dia membaca doa: ‘Allôhumma innî as’aluka wa atawajjahu ilaika bimuhammadin nabiyyir rohmah, ya Muhammad, innî qod tawajjahtu bika ilâ robbî fî hâjatî hadzihî lituqdhô, Allôhumma fasyaffi’hu fiyya (ya Allah, aku memohon kepadaMu, dan aku mengadu kepadaMu dengan pelantara Nabi Muhammad, Nabi pembawa kasih sayang. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku telah mengadu kepada tuhanku dengan perantaramu agar Allah mengabulkan hajatku ini. Ya Allah, berikanlah syafa’atnya untukku). Kemudian laki-laki itu pulang, dan Allah mengembalikan penglihatannya” (HR. Turmduzi, dan Imam Turmudzi berkata:”Hadits ini Hasan Shahih”, juga Nasai, dan Ibnu Huzaimah)

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaemah dan Imam Hakim. Imam Turmudzi menilai hadits tersebut sebagai Hadits Hasan Shahih. Demikian juga dengan Imam Hakim, ia mengatakan: “Hadits tersebut Shahih sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan Bukhari Muslim. 

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Thabrani sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Mundziri dalam at-Targhib wat Tarhib nya, lalu setelah menyebutkan sanad-sanadnya, Imam Thabrani berkata: “Hadits ini adalah Hadits Shahih”. 

Bahkan, Syaikh Albany juga menilai hadits tersebut sebagai Hadits Shahih, sebagaimana ditulisnya dalam buku Shahih Sunan at-Turmudzi dan bukunya Shahih at-Targhib wat Tarhîb.

Hadits Shahih lain yang menjadi dalil masyru’ nya Shalat Hajat adalah: 
 
وعن أبي الدرداء قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((من توضأ فأسبغ الوضوء، ثم صلى ركعتين بتمامهما، أعطاه الله عز وجل ما سأل معجلاً أو مؤخراً)) [رواه أحمد] بإسناد صحيح كما قاله الشوكاني في تحفة الذاكرين
 
Artinya: “Abu Darda’ berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang wudhu dengan sempurna, lalu shalat dua rakaat secara sempurna, maka Allah akan memberikan kepadanya apa yang dia minta cepat ataupun lambat” (HR. Imam Ahmad). 

Hadits di atas dinilai sebagai Hadits Shahih oleh para ulama hadits, termasuk oleh Imam as-Syaukani dalam kitabnya Tuhfatut Dzâkirîn. 

Demikian dua hadits Shahih yang menjadi dalil masyru’ nya shalat sunnat Hajat. Karena itu, para ulama dalam empat Madzhab, baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hanbali sepakat mengatakan bahwa Shalat Hajat adalah shalat sunnat yang dianjurkan. 

Dalam Madzhab Hanafi, shalat Hajat termasuk shalat sunnat Mandûbah, yakni shalat sunnat ghair muakkadah dalam istilah madzhab Syafi’i. Karena dalam Madzhab Hanafi, shalat sunnat dibagi dua, ada yang masnûnah dan ada yang mandûbah. Penjelasan seputar shalat sunnat yang di antaranya shalat Hajat, dalam Madzhab Hanafi dapat dilihat, misalnya dalam kitab Syarh Fathul Qadir (1/314-335), Tabyîn al-Haqâiq (1/171-180), al-Lubâb (1/91-94) dan ad-Dur al-Mukhtar (1/630-664). 

Dalam Madzhab Maliki, shalat-shalat sunnat ada yang termasuk kategori sunnah, fadhâil dan nawâfil. Dan yang termasuk kategori nawâfil dibagi dua: ada yang tidak mempunyai sebab (mâ lâ sababa lah) dan ada yang mempunyai sebab (mâ lahû sabab). Shalat sunnat yang termasuk nawafil yang mempunyai sebab ada sepuluh, di antaranya adalah shalat istikharah dan shalat sunnat Hajat dua rakaat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam kitab al-Qawânin al-Fiqhiyyah (hal 42) dan asy-Syarh ash-Shagîr (1/401-411). 

Dalam Madzhab Syafi’i, shalat Hajat termasuk shalat sunnat Ghair Muakkadah. Di antara buku yang dapat dibaca adalah Raudhatut Thâlibin dan al-Majmu’ karya Imam Nawawi. 

Demikian juga dalam Madzhab Hanbali, Shalat Hajat termasuk shalat sunnat ghair muakkadah. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam al-Mughni (2/120-163) dan Kasysyâful Qinâ’ (1/495-521). 

Demikian sekilas penjelasan seputar shalat Hajat, semoga jelas adanya. Wallâhu a’lam bis shawab. 

Aep Saepulloh Darusmanwiati

0 komentar:

Post a Comment