MENGGAPAI KEMULIAAN SEPULUH HARI PERTAMA
BULAN DZULHIJJAH
Oleh: Aep
Saepulloh Darusmanwiati
Menurut Ibnu Rajab dalam Lathâiful
Ma’ârif, di antara sebab Allah melipatgandakan pahala ibadah seseorang
adalah karena kemuliaan waktu melakukan ibadahnya (syarafuz zamân).
Ibadah apapun yang dikerjakan pada waktu-waktu yang dimuliakan oleh Allah, maka
ibadah tersebut menjadi istimewa; pahalanya dilipatgandakan, dan kedudukannya
melebihi ibadah lainnya.
Di antara contoh waktu yang
dimuliakan oleh Allah dimaksud adalah—selain bulan Ramadhan—sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah. Maksudnya adalah tanggal 01 sampai tanggal 10 dari
bulan Dzulhijjah. Pada tahun ini, insya Allah bila tidak ada perubahan, tanggal
01 Dzulhijjah akan jatuh pada hari Rabu, tanggal 17 Oktober 2012, dan tanggal
09 Dzulhijjah (Arafah) akan jatuh pada hari Kamis, 25 Oktober, serta Idul Adha
(tanggal 10 Dzulhijjah) akan jatuh pada hari Jum’at, 26 Oktober 2012. Sekali
lagi, jika tidak ada perubahan dari pemerintah Mesir, di mana penulis tinggal saat
ini.
Lalu, apa saja keutamaan sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijjah ini? Di antara keutamaannya adalah:
Pertama, dalam surat
al-Fajr, Allah berfirman:
وَالْفَجْرِ
(1) وَلَيَالٍ
عَشْرٍ (2) وَالشَّفْعِ
وَالْوَتْرِ (3) وَاللَّيْلِ
إِذَا يَسْرِ (4) هَلْ فِي ذَلِكَ
قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ
Artinya: “Demi fajar. Dan demi malam yang sepuluh. Dan demi yang genap dan yang
ganjil. Dan demi malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah
(yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal” (QS. Al-Fajr [89]: 1-5).
Jumhur ulama baik salaf maupun
khalaf, seperti Ibnu Abbas, Ikrimah, Abdullah bin az-Zubair,
Masruq bin al-Ajda’, Mujahid, ad-Dhahhak —sebagaimana disampaikan Imam
at-Thabari dan Ibnu Katsir-- ketika menafsirkan ayat ‘dan demi malam yang
sepuluh’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan malam yang sepuluh itu
adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah.
Setelah menjelaskan
pendapat-pendapat para ulama tentang maksud ‘malam yang sepuluh’ di
atas, Imam at-Thabari mengatakan:
والصواب من القول في ذلك عندنا: أنها عشر الأضحى لإجماع الحجة من أهل
التأويل عليه
Artinya: “Artinya: “Pendapat yang benar dalam
masalah ini menurut kami, bahwa maksud ‘malam yang sepuluh’ itu adalah
seepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Hal ini sesuai dengan Ijma para
ulama tentang dalil akan hal itu”.
Demikian juga dengan Imam Ibnu Katsir.
Setelah menjelaskan perbedaan pendapat para ulama seputar maksud ‘malam yang
sepuluh’ di atas, beliau mengatakan:
والصحيح القول
الأول؛ قال الإمام أحمد: ....
عن جابر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن العشر عشر الأضحى))
Artinya: “Pendapat yang benar adalah pendapat pertama (yang
mengatakan bahwa maksudnya adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah).
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits…..dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya hari sepuluh itu adalah sepuluh hari
pertama al-Adha (Dzulhijjah)”.
Tidak semata-mata Allah bersumpah dengan
sepuluh hari pertama Dzulhijjah dimaksud melainkan menunjukkan penting dan
istimewanya hari-hari dimaksud. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya at-Tibyân fî Aqsâmil Qur’ân mengatakan:
وهو
سبحانه يقسم بأمور على أمور، .... وإقسامه ببعض المخلوقات دليل على أنه من عظيم آياته
Artinya: “Allah swt bersumpah dengan beberapa
makhlukNya….Dan sumpahnya Allah dengan sebagian makhlukNya menunjukkan bahwa
makhluk yang disumpahinya itu termasuk di antara tanda kekuasaanNya yang agung,
luar biasa”.
Kedua, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah termasuk waktu empat puluh malam
di mana Allah bertemu dengan Nabi Musa as. Bahkan, ia merupakan sepuluh penutup
dari empat puluh malam dimaksud.
Dalam surat al-A’raf
Allah menjelaskan, bahwa Dia menjanjikan waktu selama empat puluh malam bertemu
dengan Nabi Musa as, untuk menyampaikan ajaran Islam yang akan dibawanya berupa
kitab Taurat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firmanNya di bawah ini:
وَوَاعَدْنَا
مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ
لَيْلَة
Artinya: “Dan telah Kami janjikan
kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan
Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah
waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam” (QS. Al-A’raf [7]:
142).
Imam Ibnu Katsir
mengatakan bahwa sebagian besar para ulama berpendapat, maksud tiga puluh hari
pertama adalah bulan Dzul Qa’dah. Sedangkan maksud sepuluh hari lagi sebagai
penutup adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Pendapat ini,
menurut Ibnu Katsir, adalah pendapatnya Mujahid, Masruq, Ibnu Juraij, juga Ibnu
Abbas.
Dengan demikian,
lanjut Ibnu Katsir, waktu bertemunya Nabi Musa as dengan Allah berakhir tepat
pada hari raya Idul Adha (tanggal 10 Dzul Hijjah) atau dalam sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah. Dan pada hari
itu juga, Allah menyempurnakan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw,
sebagaimana firmanNya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah [5]: 3).
Lagi-lagi, tidak
semata-mata Allah memilih waktu-waktu tersebut untuk menyempurnakan ajaran
Islam yang dibawa Nabi Musa as dan Nabi Muhammad saw, melainkan karena
hari-hari dimaksud merupakan hari-hari sangat istimewa dan sangat dimuliakan.
Ketiga, sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah merupakan hari-hari yang
paling dicintai oleh Allah untuk melakukan berbagai ibadah di dalamnya.
Dalam hadits shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: ((مَا الْعَمَلُ
فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلَ مِنَ الْعَمَلِ فِى هَذِهِ)). قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟
قَالَ: ((وَلاَ الْجِهَادُ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ
يَرْجِعْ بِشَىْءٍ)) [رواه البخاري]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada amal ibadah yang lebih utama selain yang dikerjakan pada sepuluh
hari ini (maksudnya sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah)”. Para sahabat
bertanya: “Apakah sekalipun jihad di jalan Allah?”. Rasulullah saw menjawab:
“Sekalipun dari jihad. Kecuali seseorang yang keluar untuk berjihad dengan diri
dan hartanya, lalu tidak ada sedikit pun yang pulang dari padanya” (HR.
Bukhari).
Dalam hadits di atas, baginda Rasulullah saw menjelaskan
bahwa apapun ibadah yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, ia
adalah paling utama—dan dalam riwayat lain dari Imam Turmudzi: paling dicintai
oleh Allah. Bahkan, pahalanya sangat besar, mengalahkan pahala jihad sekalipun.
Hal ini, karena ibadah tersebut dilakukan pada waktu yang dimuliakan oleh
Allah.
Setelah mengetengahkan hadits
di atas, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam al-Lathâif mengatakan:
و إذا كان العمل في أيام العشر أفضل و أحب إلى الله
من العمل في غيره من أيام السنة كلها، صار العمل فيه
و إن كان مفضولا أفضل من العمل في غيره و إن كان فاضلا
Artinya: “Apabila amal shaleh yang dilakukan pada sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijjah ini lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah
dari hari-hari lainnya dalam seluruh tahun, maka amal shaleh apapun yang
dikerjakan di dalamnya—sekalipun amal shaleh tersebut biasa—lebih utama dari
amal-amal shaleh lainnya yang dikerjakan pada hari-hari lain, sekalipun amal
shaleh tersebut utama”.
Dalam kesempatan lain, Ibnu Rajab juga berkata:
وهذا يدل على أن العمل المفضول في الوقت الفاضل
يلتحق بالعمل الفاضل في غيره، و يزيد عليه لمضاعفة ثوابه و أجره
Artinya: “Ini menunjukkan bahwa amal shaleh biasa yang
dilakukan pada waktu istimewa akan menyamai (pahala) amal shaleh utama yang
dikerjakan pada hari-hari biasa. Bahkan, dilebihkan dengan dilipatgandakan
pahala dan balasannya”
Keempat, sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling utama (afdhal) dari seluruh hari-hari
yang ada di dunia (afdhal ayyâm ad-dunyâ).
Dalam sebuah hadits Shahih
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bazzâr, Rasulullah saw pernah bersabda:
عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أفضل
أيام الدنيا أيام العشر)) [رواه البزار، وصححه الألباني في صحيح الجامع برقم:
1133].
Artinya:
“Jabir berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Seutama-utama hari-hari di dunia ini
adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah” (HR. Imam al-Bazzâr, dan
hadits ini dinilai Shahih oleh Syaikh Albany sebagaimana disebutkan dalam Shahîh
al-Jâmi’ nya, nomor 1133).
Bahkan, saking mulianya
sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini, banyak ulama yang berpendapat, sebagaimana
disampaikan Ibnu Katsir, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini lebih baik
dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sekalipun. Hal ini karena dalam
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terkumpul ibadah-ibadah yang dilakukan
pada bulan Ramadhan, mulai dari puasa, shalat, sedekah dan lainnya.
Sebagian pendapat lain
mengatakan, sepuluh terakhir bulan Ramadhan lebih utama, karena di dalamnya ada
Lailatul Qadar.
Sementera ulama lainnya
mencoba menggabungkan dua pendapat di atas dengan mengatakan, apabila siang
harinya, maka sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama. Namun, jika
malam hari nya, maka sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih istimewa.
Masih berkaitan dengan
keutamaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah, Ka’ab pernah berkata:
اختار الله الزمان فأحب الزمان إلى الله الشهر الحرام،
وأحب الأشهر الحرم إلى الله ذو الحجة، وأحب ذي الحجة إلى الله العشر الأول
Artinya: Imam Ka’ab berkata: “Allah telah
memilih waktu-waktu tertentu. Waktu yang paling disukai oleh Allah adalah
bulan-bulan haram. Dari empat bulan haram, bulan yang paling dicintai Allah
adalah bulan Dzulhijjah. Dan dari bulan Dzulhijjah, yang paling dicintai Allah
adalah sepuluh hari pertama dari bulan tersebut”.
Abu
Utsman an-Nahdy, pernah mengatakan bahwa
para ulama salaf dahulu selalu mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari. Ketiga waktu dimaksud
adalah: sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama dari
bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama dari bulan Muharram”.
Dari
tiga waktu sepuluh hari di atas, sebagian besar para ulama berpendapat bahwa
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih baik dari dua sepuluh hari lainnya.
Ibnu Nashiruddîn ad-Dimasyqî kemudian mengatakan:
“Dari hadits-hadits nampak bahwa sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah lebih
utama dari dua sepuluh hari lainnya. Karena di dalam sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah berkumpul tiga hari istimewa, yaitu hari tarwiyyah (tangal 08
Dzulhijjah), hari ‘Arafah (tanggal 09 Dzulhijjah) dan hari raya Idul Adha
(tanggal 10 Dzulhijjah)”.
Demikian, di antara sebagian kecil dari segunung
kemuliaan dan keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Lalu, apa amalan yang dapat dikerjakan di dalamnya?
Apapun ibadah dan amal shaleh yang dikerjakan di dalamnya, pahalanya sangat
istimewa dan luar biasa. Di antaranya adalah:
Pertama, Puasa sunnat sembilan hari
(tanggal 01 sampai 09 Dzulhijjah)
Imam Nawawi dalam Syarahnya terhadap Shahih Muslim
mengatakan:
هي مستحبة استحبابا شديدا
لا سيما التاسع منها، وهو يوم عرفة، وقد سبقت الأحاديث في فضله
Artinya:
“Puasa pada Sembilan hari bulan Dzulhijjah sangat dianjurkan (sunnah
muakkakdah), terutama tanggal sembilannya, yaitu pada hari Arafah. Hal ini
karena banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan-keutamaan dari hari-hari
dimaksud”.
Setelah
mengatakan demikian, Imam Nawawi lalu menukil hadits shahih riwayat Imam
Bukhari yang menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
dimaksud.
Lalu
bagaimana dengan hadits dari Sayyidah Aisyah yang mengatakan bahwa ia tidak
pernah melihat Rasulullah saw berpuasa pada sembilan hari pertama bulan
Dzulhijjah di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله
عنها قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَائِمًا فِى الْعَشْرِ
قَطّ [رواه مسلم]
Artinya:
“Sayyidah Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa
pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah sedikit pun” (HR. Muslim).
Imam
Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas dalam kitabnya al-Minhâj, mengatakan:
وهذا مما يتأول فليس في
صوم هذه التسعة كراهة، بل هي مستحبة استحبابا شديدا لا سيما التاسع منها، وهو يوم عرفة،
وقد سبقت الأحاديث في فضله، وثبت في صحيح البخاري: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال: ((ما من أيام العمل الصالح فيها أفضل منه في هذه " - يعني : العشر الأوائل
من ذي الحجة - .فيتأول قولها: لم يصم العشر، أنه لم يصمه لعارض مرض أو سفر أو غيرهما،
أو أنها لم تره صائما فيه، ولا يلزم عن ذلك عدم صيامه في نفس الأمر، ويدل على هذا التأويل
حديث هنيدة بن خالد عن امرأته عن بعض أزواج النبي صلى الله عليه وسلم قالت: كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر:
الاثنين من الشهر والخميس ورواه أبو داود وهذا لفظه وأحمد والنسائي.
Artinya:
“Hadits di atas termasuk hadits yang dapat dita’wil. Berpuasa pada sembilan
hari pertama bulan Dzulhijjah bukanlah sesuatu yang makruh, akan tetapi sunnah
yang sangat ditekankan, terutama tanggal sembilan Dzulhijjahnya, yaitu hari
Arafah. Telah disebutkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya. Bahkan
dalam Shahih Bukhari juga disebutkan, bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada hari-hari di mana amal shaleh yang dilakukan di dalamnya lebih
utama, selain amal-amal shaleh yang dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah”.
Karena
itu, perkataan Sayyidah Aisyah: ‘Rasulullah saw tidak pernah berpuasa pada
sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah’ ini perlu dita’wil / diartikan lain.
Boleh jadi, beliau tidak berpuasa pada saat itu karena ada sebabnya, seperti
sakit, bepergian atau sebab lainnya. Atau boleh jadi, karena Sayyidah Aisyah
tidak pernah melihat beliau berpuasa
padanya. Namun ini tidak berarti bahwa beliau tidak berpuasa pada
hari-hari dimaksud.
Tawil
ini diperkuat dengan hadits Hunaidah binti Khalid dari isteirnya, dari sebagian isteri-isteri
Rasulullah saw yang mengatakan bahwa Rasulullah saw senantiasa berpuasa pada
sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah, hari Asyura (tanggal 10 Muharram), tiga
hari setiap bulan, dan puasa hari Senin dan Kamis setiap bulannya. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ahmad
dan Nasai. Redaksi di atas berdasarkan riwayat Abu Daud”.
Hampir
senada dengan apa yang disampaikan Imam Nawawi di atas, Imam Ibnu Hajar
al-‘Asqalany dalam kitabnya Fathul Bâri mengatakan, bahwa dengan hadits riwayat
Imam Bukhari tersebut menjadi dalil sunnatnya berpuasa sembilan hari pertama
bulan Dzulhijjah. Hal ini karena puasa masuk dalam kategori amal shaleh.
Ibnu
Hajar juga kemudian mengatakan:
ولا يرد على ذلك ما رواه
أبو داود وغيره عن عائشة قالت: ما رأيت رسول
الله صلى الله عليه وسلم صائما العشر قط، لاحتمال أن يكون ذلك لكونه كان يترك العمل
وهو يحب أن يعمله، خشية أن يفرض على أمته، كما رواه الصحيحان من حديث عائشة أيضا
Artinya:
“Sunnatnya puasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah ini tidak
bertentangan dengan hadits dari Sayyidah Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud dan lainnya yang mengatakan: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw
berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah sedikitipun”. Hal ini
karena boleh jadi Rassulullah saw meninggalkan puasa tersebut padahal beliau
menyukai untuk melakukannya, karena takut akan dipandang sebagai kewajiban
kepada ummatnya. Hal ini sebagaimana juga terjadi dalam hadits Aisyah lainnya
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim”.
Sementara
Imam Ahmad bin Hanbal ketika menyikapi hadits Sayyidah Aisyah di atas, menurut
penuturan Ibnu Rajab dalam Lathâiful Ma’ârifnya, menjawabnya dengan dua
jawaban.
Jawaban
pertama,
hadits Sayyidah Aisyah ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Hafshah, isteri Rasulullah saw juga. Dalam hadits riwayat Hafshah disebutkan
bahwa Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan untuk berpuasa Asyura (10
Muharram), sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan berpuasa pada tiga hari
setiap bulan”.
Imam
Ahmad juga mengatakan bahwa sanad hadits Aisyah diperdebatkan. Imam al-A’masy
meriwayatkannya sebagai Hadits Musnad, sementara Manshur meriwayatkannya dari
Ibrahim dengan mursal.
Demikian
juga para ulama lain menjawabnya, bahwa jika hadits Aisyah bertentangan dengan
hadits Hafshah dalam nafyi (meniadakan) dan itsbat (menetapkan), maka ambil
perkataan yang menetapkan. Hal ini karena ia mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui oleh yang meniadakannya.
Maksudnya
(perkataan penulis), dalam hadits Aisyah meniadakan (nafyi), bahwa Rasul tidak
berpuasa pada sembilan hari pertama Dzulhijjah. Sedangkan hadits Hafshah
menetapkan (itsbât), bahwa Rasulullah saw selalu menjalankannya. Maka yang
diambil adalah yang menetapkan, yaitu hadits Hafshah, bahwa Rasulullah saw
selalu melaksanakkan puasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah.
Jawaban
kedua, menurut
Imam Ahmad, bahwasannya maksud Sayyidah Aisyah adalah bahwa Rasulullah saw
tidak berpuasa sembilan hari penuh. Sementara hadits Hafsah maksudnya bahwa
Rasulullah saw umumnya selalu berpuasa pada hari-hari dimaksud. Karena itu,
sebaiknya dalam puasa hari-hari ini, dianjurkan berpuasa sebagiannya dan
berbuka pada sebagiannya yang lain.
Hanya
saja, menurut Ibnu Rajab, jawaban kedua ini yang mencoba menggabungkan kedua
hadits di atas, tidak relevan dan tidak pas.
Terlebih
dari semua itu, yang jelas bahwa jumhur ulama memandang sunnah muakkadah
berpuasa pada sembilan hari pertama di bulan Dzulhijjah ini.
Ibnu Abbas pernah berkata: “Puasa satu hari padanya,
pahalanya sama dengan puasa selama satu tahun. Dan amal shaleh yang dikerjakan
di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya 700 kali lipat”
Terlebih puasa Arafah, yaitu puasa tanggal 09
Dzulhijjah. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ
أَبِى قَتَادَة قَالَ: قال رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((....صِيَامُ يَوْمِ
عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ
الَّتِى بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ [رواه مسلم]
Artinya: “Abu Qatadah
berkata: “Rasulullah saw bersabda: “…Berpuasa Arafah (tanggal 09 Dzulhijjah)
aku berharap pahala kepada Allah dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya,
dan satu tahun setelahnya. Sedangkan puasa ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) aku
berharap pahala kepada Allah, dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya” (HR.
Muslim).
Imam
Nawawi dalam kitabnya al-Minhâj, ketika menjelaskan hadits di atas
mengatakan bahwa dosa yang akan dihapuskan selama dua tahun tersebut adalah
dosa-dosa kecil. Atau jika bukan dosa-dosa kecil, diharapkan dapat meringankan
beban dan dosa-dosa besar. Jika bukan itu, maka maksudnya adalah derajatnya
akan diangkat.
Kedua, berkurban bagi yang mampu.
Rasulullah
saw dalam hal ini bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((مَا عَمِلَ آدَمِىٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ
أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ
بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا)) [رواه الترمذي وابن ماجه والحاكم]
Artinya: “Dari Aisyah, Rasulullah
saw bersabda: “Tidak ada perbuatan keturunan Adam pada hari raya Idul Adha yang
paling dicintai oleh Allah, selain berkurban. Kelak hewan kurban itu akan
datang dengan tanduknya, bulu-bulunya, juga kuku-kukunya (sebagai saksi
kebaikan bagi yang melakukannya). Serta darah hewan kurban itu, akan jatuh di
sebuah tempat terlebih dahulu (maksudnya akan diterima oleh Allah lebih dahulu)
sebelum darah itu jatuh ke atas tanah,
sehingga hewan kurban itu memberikan banyak kebaikan kepada jiwa-jiwa yang
melakukannya” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Hakim).
Juga hadits lainnya di bawah ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ
يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا))
[رواه ابن ماجه والحاكم]
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Siapa yang mempunyai kelapangan rizki, namun ia tidak berkurban, maka
janganlah mendekati tempat shalat kami” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Waktu yang paling baik untuk memotong hewan kurban menurut
seluruh ulama empat madzhab adalah pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah selesai
shalat ‘Id.
Selain itu, bagi yang berniat untuk berkurban, tidak
diperbolehkan baginya memotong kuku, rambut, juga bulu-buluan yang ada pada
tubuhnya sejak tanggal 01 Dzulhijjah, sampai hewan kurbannya itu dipotong. Hal
ini berdasarkan hadits di bawah ini:
عن أُمّ
سَلَمَةَ زَوْج النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قالت: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم: ((مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ))
[أخرجه مسلم]
Artinya: “Ummu Salamah, isteri Rasulullah saw berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang mempunyai hewan untuk dikurbankan, maka
apabila hilal bulan Dzulhijjah telah masuk (maksudnya telah masuk tanggal 01
Dzhulhijjah), maka janganlah ia memotong rambut dan kuku-kukunya sampai ia
memotong hewan kurbannya itu” (HR. Muslim).
Jumhur ulama berpendapat, larangan dimaksud hukumnya
makruh, bukan haram (pembahasan lebih detail seputar kurban ini dapat dilihat
dalam buku penulis berikutnya, insya Allah, yang berjudul: “Panduan Lengkap
Fiqh Kurban (Udhiyyah): Tinjauan Empat Madzhab”.
Ketiga, memperbanyak membaca takbir (Allôhu akbar), tahlil
(lâ ilâha illallôh), tahmîd
(alhamdulillâh) juga dzikir lainnya.
Kalimat takbir ini lebih ditekankan lagi untuk dibaca setiap kali
selesai shalat wajib sebanyak tiga kali, sejak setelah shalat Shubuh dari hari
Arafah (tanggal 09 Dzulhijjah) sampai setelah shalat Ashar pada tanggal 13
Dzulhijjah (akhir hari Tasyriq).
Bacaan takbir dimaksud adalah:
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
لا إله إلا الله، الله أكبر
الله أكبر ولله الحمد
Allôhu akbar, Allôhu akbar,
Allôhu akbar.
Lâ ilâha illallôhu, Allôhu akbar
Allôhu akbar, walillâhil hamd
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah
Maha Besar, Allah Maha Besar.
Tidak ada Tuhan selain Allah.
Allah Maha Besar.
Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi Allah”.
Ibnu Abbas berkata: “Tidak ada hari-hari yang mana amal shaleh
yang dikerjakan di dalamnya paling
dicintai Allah, selain amal shaleh yang dikerjakan pada sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah. Karena itu, perbanyaklah membaca tahlil (lâ ilâha
illallôh), takbir dan dzikir di dalamnya. Karena sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah ini adalah waktu untuk memperbanyak tahlil, takbir dan dzikir,
menyebut nama Allah. Puasa satu hari padanya, pahalanya sama dengan puasa
selama satu tahun. Dan amal shaleh yang dikerjakan di dalamnya akan
dilipatgandakan pahalanya 700 kali lipat”
Keempat, melakukan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat tahajjud,
sedekah, memperbanyak shalat sunnat baik rawatib maupun non rawatib, membaca
al-Qur’an, membantu dan menolong sesama, juga amal-amal shaleh lainnya.
Dalam sebuah hadits yang oleh sebagian ulama dinilai
sebagai Hadits Dhaif, disebutkan:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِى الْحِجَّةِ، يَعْدِلُ
صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ، وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا
بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْر)) [رواه الترمذي،
وضعفه الشيخ الألباني في ضعيف الترمذي برقم: 758].
Artinya:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada hari-hari yang paling
dicintai oleh Allah untuk melakukan ibadah selain sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Puasa satu hari padanya, sama dengan pahala puasa selama satu tahun. Shalat
malam setiap malamnya sama dengan pahala melakukan shalat pada Lailatul Qadar”
(HR. Turmudzi, dan hadits ini dinilai sebagai Hadits Dhaif oleh Syaikh Albany).
Anas
bin Malik bertutur: “Nilai satu hari dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
ini sama dengan seribu hari. Dan satu hari arafah (09 Dzulhijjah) pahalanya
sama dengan sepuluh ribu hari lainnya”.
Hasan
Bashri juga mengatakan: Puasa satu hari pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah
sama dengan puasa selama dua bulan.
Demikian sekilas bahasan seputar keutamaan dan amalan
sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Semoga berguna dan bermanfaat,
khususnya untuk penulis sendiri. Yang benar semua datang dari Allah dan
RasulNya, sementara yang salah datang dari kebodohan penulis juga dari setan.
Bagi yang hendak men-share tulisan ini, kami persilahkan
dengan sangat senang hati, dan jangan lupa doa terbaiknya dari seluruh pembaca
di mana pun berada untuk penulis dan keluarga yang saat ini masih belajar di
Universitas al-Azhar, Kairo.
Hatur nuhun, semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam bis
shawâb.
Katamea, Kairo, Senin, 29 DzulQa’dah / 15 Oktober 2012
Aep Saepulloh Darusmanwiati
Email: aepmesir@yahoo.com